Cerpen

Ngalor Ngulon (Utara ke Barat)

Cahaya terang memancar secara horizontal pada garis cakrawala awal September sudah menampakkan dirinya, arunika kembali membawa ketentraman desa bersama geliat orang-orang penuh kebahagiaan. Namun, di balik ketentraman tersebut terdapat gadis berumur 24 tahun, Ia selalu muncul pada siang hari dengan membawa seikat kayu bakar. Pada suatu siang yang kering kerontang di bulan September, langkahnya tertatih-tatih menuju sebuah kursi bambu di teras rumah, Ia meletakan seikat kayu bakar di pundak kirinya yang tergeletak begitu saja di tanah yang berdebu, sambil menghela napas panjang gadis itu juga mengerakan kedua pundaknya ke atas-bawah. Dari balik rumah gedheg aku mengintip di celah celah anyaman bambu yang sudah koyak termakan usia, menyipitkan mata agar gadis itu dapat kulihat dengan saksama. Aku berpikiran mungkin dia sedikit kurang waras

“Apakah gadis itu kurang waras ya?” pikirku sambil memandang dari balik rumah gedheg.

Rambut keriting sebahu dan agak pirang dikuncir seadanya, sehingga masih ada beberapa helai rambut yang tak terkuncir. Raut mukanya tampak memikirkan sesuatu dan bingung, entah apa yang dipikirkan. Saya pikir wajahnya cantik juga, tetapi aura orang yang sakit itu nampak jelas dari raut muka dan perilakunya. 

Nduk Siti gelem maem?”

Suara yang aku kenal tiba-tiba datang dari balik pintu rumah dan menghampiri gadis tersebut.

“Lahh… Emak kenapa mendekat ke gadis yang kurang waras itu?” pikirku dalam hati sambil bingung.

Emak kemudian mengajak gadis dengan baju sederhana itu masuk ke dalam rumah, mau tak mau aku harus segera pergi untuk ke kamar dan bersembunyi dari gadis tersebut. Kemudian Emak dengan sabarnya menyuguhkan beberapa makanan kepada Siti. Dari balik tirai kamar yang remang-remang aku lihat raut muka gadis itu seperti menanggung sebuah beban yang berat di pundaknya, “Apa karena setiap hari membawa seikat kayu bakar?” Pikirku dalam hati 

Bola mata gadis yang dipanggil Siti itu berbinar-binar saat mencoba makanan yang dihidangkan oleh Emak, padahal makanan yang disajikan hanya nasi dan semangkok jangan tewel itu adalah makanan yang sederhana menurutku. Garis senyum tipis di wajahnya nampak terlihat saat menatap Emak yang mengeluarkan setiap makanan yang dimilikinya. 

“Ayo Ndukk… silahkan dimakan, tidak usah sungkan” ucap Emak sambil mengambilkan nasi dari wakul.

Enggih Mak matur suwun” pinta lirih Siti terdengar tersengal-sengal. 

Usut punya usut menurut warga desa, Gadis tersebut tinggal di sebuah pekarangan kosong yang dekat dengan tempat pembuangan akhir. Ia hidup seorang diri tanpa orang tua dan sanak saudara. Padahal usianya sedikit di atas dariku. Entah pekerjaannya apa, tetapi setiap hari dia berkeliling ke pekarangan rumah warga untuk mencari kayu bakar lalu dibawanya pulang sambil meletakan di pundak kirinya. Gadis itu sebenarnya mempunyai paras yang cantik. Namun, langkahnya semakin lama semakin terlihat membungkuk, kemungkinan beban berat yang dia panggul setiap hari dipundaknya. 

Setiap hari di mana matahari tepat di atas kepala, sepengetahuanku gadis itu selalu mencari seikat kayu bakar dan membawa sapu lidi. Sehabis mencari kayu bakar dia akan istirahat di pelataran depan rumah warga yang dekat dengan lokasi Ia mencari kayu bakar. Namun, yang menjadi penasaran dan pertanyaanku, kenapa beberapa minggu ini gadis itu selalu singgah di teras rumahku? 

Setiap selesai mencari kayu dia selalu singgah di depan rumah Emak, padahal masih ada rumah lain. Namun, ketika Emak sedang tidak ada di rumah dan aku sendirian, aku selalu menutup jendela dan pintu rapat-rapat. Sebenarnya aku juga kasihan dengan gadis malang tersebut, tapi aku tak tau kenapa kondisinya seperti itu tanpa sebuah keluarga dan orang tua.

Sambil kuintip gadis itu dari balik celah gedhek rumah, untuk memastikan dia akan segera pergi. Namun, entah kenapa Ia tidak segera pergi malah mengambil sapu lidi yang terletak di samping rumah, kemudian mulai mengibaskan sapu tersebut untuk menyapu seluruh halaman yang dipenuhi daun mahoni kering karena masuk di musim kemarau bulan September. Siapa yang tak kaget melihat sikapnya yang baik, karena aku selalu berpikiran Ia gadis yang tidak waras. 

Penuh keikhlasan suara gesekan sapu lidi dengan tanah terdengar di waktu itu, ternyata gadis itu benar-benar menyapu halaman rumahku dari daun mahoni yang berguguran. Ia juga sesekali mencabut rumput yang tumbuh di sekitar halaman rumah. Setelah selesai menyapu ia meletakan kembali sapu lidi di tempat semula, sambil membopong kembali seikat kayu bakar yang dia kumpulkan hari itu dan meninggalkan sepasang jejak kaki di depan rumah Emak. 

Semenjak minggu-minggu kedatangan gadis Bernama Siti, halaman rumah Emak selalu terlihat bersih. Namun, aku masih mempunyai pertanyaan kepada Emak, mengapa gadis tersebut bisa seperti itu? setiap hari aku memandangnya seperti ada beban yang dia pikul atau dirasakan selama ini, tetapi bukan beban dari seikat kayu bakar tersebut. 

Keesokan harinya, waktu di mana aku ingin menanyakan tentang hal tersebut ke Emak saat duduk bersantai di pelataran rumah.

“Mak, bolehkan aku bertanya sedikit?” ucapku kepada Emak

“Iya Nak, kamu mau tanya apa?” kata lirihnya 

“Emm… sebenarnya apa yang terjadi pada gadis tersebut Mak?” 

“Gadis yang mana? Gadis bernama Siti itu?” Tanya Emak kepadaku

“Iya Mak” Tegasku

“Begini Nak, dia memanggul beban dosa di masa lalu, kasihan sekali Siti” Jelas Emak kepadaku. Sekarang kamu pergi ke warung belikan Emak gula” terang Emak sambil menyuruhku untuk pergi ke warung.

“Loh…, Mak aku belum selesai bertannya” pintaku 

“Nanti kamu akan tau sendiri kisahnya, sekarang kamu pergi ke warung dulu” terang Emak kepadaku

Enggih Mak” ucapku sambil berdiri dari kursi

Dalam perjalanan ke warung aku bergumam “Aku saja belum paham apa yang dimaksud Emak, malah aku disuruh pergi ke warung padahal belum selesai aku bertannya.” Gumamku sambil berjalan.

Di perjalanan menuju warung aku berpikir sebenarnya apa yang terjadi pada gadis tersebut hingga tak punya siapa-siapa di hidupnya. Sambil berjalan aku berpikir.

“Kenapa dia selalu mencari kayu bakar setiap harinya dan menyapu halaman rumah, apa memang dia tak punya kegiatan atau pekerjaan selain melakukan itu, ah… entahlah” gumamku di perjalanan. 

Pulang dari warung ternyata Siti sudah ada di rumah dan berbincang dengan Emak, Seperti biasa Ia membawa seikat kayu bakar dan menyapu halaman rumah Emak dari guguran daun mahoni. Dalam benakku masih ada tanda tanya besar tentang kehidupan gadis tersebut di masa lalu. Tapi Emak selalu menjawab pertanyaanku dengan kata yang kurang aku pahami dan sedikit nglantur. 

Setelah Siti selesai menyapu halaman rumah dan Ia segera memanggul seikat kayu kering di pundaknya, sembari menampakan senyum tipis agak ganjil dan membungkukan kepala sejenak kepada Emak dan aku. Tiba-tiba Emak berkata.

“Jangan kau tanggung hal itu sendirian Siti,” ucap Emak melepas kepergian Siti yang memanggul kayu bakar sembari memandang punggung Siti yang mulai menghilang di tikungan jalan. Aku lihat mata Emak sedikit berbinar, semakin membuat aku bertannya-tanya tentang apa yang terjadi sebenarnya. Setelah gadis itu meninggalkan rumah, aku pun kembali bertanya pada Emak.

“Mak… gadis itu kurang waras, kenapa datang ke rumah lagi?” tegasku dengan suara yang agak keras,

“Nak… dia tidak gila ataupun kurang waras, hanya saja gadis tersebut memanggul beban dosa di pundaknya dan meleburnya bagaikan kayu yang dibakar menjadi abu.” Suara lirih Emak menjelaskan kepadaku.

Tetapi aku masih belum paham juga maksud melebur dosa itu. “Memang dosa apa yang dia buat sampai seperti itu?” pikirku dalam hati.

Namun, setelah aku pikir-pikir perkataan Emak juga ada benarnya, kebanyakan orang yang sehat atau normal jiwanya selalu menjauhi orang yang jiwanya kurang waras, padahal mereka mempunyai dunianya sendiri yang kadang lebih bijak dan mulia dibanding orang normal, meski pemikiran orang kurang waras tidak bisa dinalar.

Terik matahari membakar jalanan desa yang masih makadam, debu melayang-layang di udara bergelut dengan hembusan angin. Suasana kemarau semakin terasa saat itu tanah kembali gersang di sekitaran rumah, daun-daun mahoni kembali berguguran. Di pelataran rumah aku duduk di lincak, sambil membawa buku yang hanya aku bolak-balik tanpa membaca isinya, lalu mengalihkan pandangan ke seberang jalan desa. Emak yang sedang menjemur gaplek di depan rumah melihat gelagatku yang aneh, mungkin raut mukaku yang sedikit gelisah. Emak lantas menyelesaikan menjemur gaplek di depan rumah lalu mendekatiku sambil mengibaskan tangannya yang kotor. 

Le…kamu kenapa, seperti orang gelisah?” tanya Emak kepadaku sambil duduk di sampingku.

“Gadis itu ngak datang ke sini lagi ya, Mak?” tanyaku sambil memandang ke seberang jalan, sedangkan buku tadi kuletakan di atas meja. 

“Entahlah,” jawab Emak singkat sembari ikut memandang ke seberang jalan 

“Aku khawatir dengan keadaannya” pintaku dengan suara lirih, karena aku berpikir selama ini gadis itu bukanlah gadis yang tidak baik. Namun, nyatanya sebaliknya.  

Semenjak Emak menceritakan tentang gadis bernama Siti, dan kehidupan dari Siti yang kurang beruntung, begitu juga tentang maksud peleburan dosa melalui kayu bakar yang disampaikan Emak waktu itu. Juga kisah Siti yang gemar menyapu pekarangan orang dengan sapu lidi yang diibaratkan membersihkan dosa gadis Siti dari kesalahan masa lalu. Namun, aku masih belum paham mengenai dosa apa yang Siti buat hingga seperti itu.

“Waktu itu dia masih sepantaranmu, Ia tinggal bersama orang tuanya yang sangat menjunjung tinggi budaya Jawa atau Kejawen, dia perempuan yang cantik menawan, perempuan normal seperti wanita lain, dia juga sempat menikah dengan seorang lelaki dari Sunda.” cerita emak kepadaku 

“Iya Mak, kemudian kenapa dia menanggung dosa?” tanyaku kepada Emak

“Keluarganya sangat memegang teguh budaya Jawa, dan percaya tentang adat Jawa yang tidak boleh dilanggar, saat akan menikah dengan seorang laki-laki keluarganya tak merestui karena calon suami Siti adalah orang Sunda asli di mana terdapat mitos larangan menikah antara Jawa-Sunda, selain itu rumah calon suami Siti ngalor ngulon, Keluarga Siti percaya bahwa pernikahan seperti itu akan mendatangkan banyak cobaan dan masalah. Namun, Siti tetap bersikukuh dan entah kejadian itu kebetulan atau tidak dan akhirnya….”

Emak memutus cerita tersebut dan tak melanjutkannya kembali, tetapi aku sudah sedikit memahami tentang maksud peleburan dosa yang dilakukan Siti. Beberapa hal yang pernah aku baca dari buku-buku Jawa (Primbon), tradisi larangan menikah orang Jawa dengan orang Sunda diakibatkan sebuah tragedi zaman Majapahit yaitu terjadinya perang Bubat. 

Konon katanya perang Bubat sendiri merupakan peristiwa perselisihan Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit akibat niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Namun, Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Kemudian tradisi ngalor ngulon berkaitan dengan kesakralan adat jawa mengenai penentuan hari dan waktu pernikahan. Sehingga keluarga yang masih kental dengan adat kejawen melarang anaknya untuk menikah dengan orang yang rumahnya ngalor ngulon. Sebab penentuan tersebut berkaitan dengan rezeki, usia, dan lainya. Jika hal itu dilanggar akan ada karma dikemudian hari kepada pihak melanggar. 

“Siti percaya bahwa pantangan tentang nikah dengan orang Sunda dan mitos pernikahan ngalor ngulon tak akan terjadi selama dia tidak meyakini. Dan dia yakin bahwa pantangan tersebut hanya kepercayaan orang zaman dahulu saja.” Lanjut cerita Emak dengan suara lirih.

Meskipun tak ada restu dari keluarga, Siti tetap bersikukuh untuk melanjutkan pernikahan tersebut dengan calon suaminya walaupun dengan pernikahan siri. Setelah diketahui oleh keluarga bahwa Siti melakukan pernikahan siri, sejak saat itu Ia tak diakui lagi sebagai kelurga besar karena dianggap telah menyalahi kebudayaan Jawa dan kepercayaan keluarga untuk memegang teguh budaya Jawa yang selama ini diyakini. Namun, masih saja Siti tetap tidak yakin tentang pantangan tersebut, bukankah keyakinan itu hanya milik Tuhan Yang Maha Esa saja pemilik semesta alam ini? Dan bukankah jodoh, rizki, takdir, dan kematian yang menentukan juga Tuhan? 

Semenjak saat itu keluarga Siti tidak mengakuinya sebagai keluarga besar dan tidak peduli apa yang terjadi kepadanya, Siti sekarang seperti terbuang dan dilupakan oleh keluarga yang dulu merawatnya. Namun, entah ini sebuah takdir atau hukuman dari ketidakpercayaan Siti mengenai pantangan tersebut. Tak berselang lama setelah pernikahan siri tersebut dilaksanakan, suaminya meninggal tanpa sebab yang jelas. Masyarakat saat itu meyakini bahwa itu kutukan atau karma yang didapatkan oleh Siti dan suaminya karena melanggar adat Jawa tentang pernikahan. 

“Mak… Siti kapan ke sini lagi, aku jadi khawatir dengannya? Kataku lirih 

“Tidak usah khawatir Le… Ia sudah berhasil melebur dosanya dan kembali dengan tenang” Jawab Emak sedikit berkaca-kaca

Matahari mulai kembali ke peraduannya dan pelan-pelan langit berganti dengna senja berkilau mengintip dari balik rimbun pohon mahoni, dengan guguran daun yang terus berjatuhan tanpa ada yang mempedulikan. Dan entah sejak saat itu Siti tidak kembali ke rumah Emak untuk mencari kayu bakar atau hanya menyapu halaman rumah depan.

Penulis: Muhammad Aditya Wisnu Wardana

(Visited 194 times, 1 visits today)

Join The Discussion