Cerpen

Petrichor

Sinar matahari menyusup melalui cela-cela ventilasi kamarnya. Hari sudah pagi dan gadis pemalas itu masih terlelap diranjangnya. Matanya terbuka saat telinganya mendengar alarm yang berbunyi terus-menerus dengan begitu nyaring. Ia bangkit dari peraduannya dan melonggarkan otot-ototnya. 

Gadis itu mandi dan menyiapkan peralatan untuk melukisnya. Ia menghela nafas melihat berbagai cat dan kuas yang baru kemarin dia beli. Semoga hari ini tidak ada yang merusak alat lukisnya lagi. Dan hari ini dia harus jauh-jauh dari Elno anak fotografi si pembuat onar. Ia mengendong tas besarnya dan mulai mengayuh sepedanya kearah fakultas seni rupa. Begitu sampai dia mulai melanjutkan lukisannya. Sebentar lagi akan ada pameran seni murni dan lukisannya harus lolos pada seleksinya. 

Saat tengah asik membuat berbagai warna dalam paletnya, ia mendengar suara. Suara yang tidak asing karna itu adalah suara orang yang selalu merusuhinya. Ia segera menyelesaikan warna baru kedalam wadah cat kosong, karena sayang dengan catnya yang mahal. Begitu ia selesai dan menutupi lukisannya agar tidak kotor saat ia berbalik pria itu berada tepat didepannya. Menatapnya lurus kedalam bola matanya yang berwarna coklat tua seolah ingin menyelaminya dan ketika keduanya tersadar, gadis itu hendak lari namun, lelaki itu lebih dulu mengenggam lengannya. 

“ayolah, kumohon apa kau tidak ada mangsa lain? Bukankah laki-laki sepertimu harusnya mengejar-ngejar anak teater yang cantik-cantik itu.. lagipula bukankah kemarin kau sudah puas mematahkan semua kuasku dan mengecer-ecer cat minyakku? Kuberitahu ya total dari semua yang kau hancurkan itu bisa membeli lensa baru untuk kameramu. Jadi kau pasti tahu bahwa semua itu tidaklah murah. Hehe..lepaskan aku ya?” gadis bodoh itu meringis, berusaha membujuk pria didepannya ini. 

“sebenarnya aku memang tak punya mangsa lain, memang siapa yang lebih cocok menjadi mangsaku daripada kau siseniman cupu? Aku juga tidak suka dengan anak teater yang begitu ingin jadi aktris, dan lagi memangnya kau tahu berapa harga lensa untuk kameraku? Kau bahkan tidak pernah memegang kamera”  lelaki itu menatapnya penuh minat.

“kalo begitu aku ingin membuat penawaran!” 

“penawaran? Memangnya apa yang bisa kau tawarkan? Aku tidak bernafsu dengan gadis ukuran payudaranya hanya sebiji ketumbar”

“HEI!!!!!!! Bukan itu maksudku dasar si brengsek mesum! Hah… kudengar anak fotografi membutuhkan model untuk tema creamynya. Jadi aku akan membantumu menyelesaikan tugasmu itu dan kau tidak boleh menggangguku sampai lukisanku selesai bahkan kalau bisa membatuku agar lukisanku bisa lolos seleksi pameran.” 

“Dengarkan aku Vernatha, aku tidak tertarik untuk apapun yang kau tawarkan. Kau bisa bebas melukis hari ini” 

Setelah mengatakannya pria itu berlalu dari hadapannya, dia berjalan dengan wajah menatap lurus kedepan, kedua tangannya tersimpan didalam saku jaket yang ia kenakan. Sementara Vernatha terus menatap punggung lelaki itu.  Sebenarnya ia selalu berfikir kenapa pria itu selalu ingin mengacaukan harinya. Entah itu membuatnya terjatuh dari tangga, terpeleset air didepan kamar kamar mandinya, membuat presentasinya gagal, bahkan kemarin merusak alat-alat lukisnya. Jika diingat-ingat ia sebenarnya tak pernah membuat masalah dengan pria itu sebelumnya. 

*****

Elno menyenderkan tubuhnya pada pagar besi dibelakangnya. Ia menatap kelangit. Memejamkan matanya. Dalam ingatan terdapat gadis kecil yang memberi sebuah permen kapas pada anak lelaki seumurannya. Cinta pertamanya dimasa kanak-kanak, ingatan yang menyenangkan. 

Hari dimana mamanya memiliki pertemuan dengan teman-teman sesamanya, itu adalah hari paling membosankan dan melelahkan untuknya. Akan banyak para tante yang mencubit pipinya, memangkunya dan membawaya kemana. 

Tapi hari ini ia mendapati seorang anak perempuan yang seumuran denganya. Anak perempuan itu memperkenalkan diri tapi sayangnya ia terlalu angkuh untuk melakukan hal yang sama. Dan ketika mereka disuruh bermain berdua ia pergi untuk mengambil game ditasnya dan mulai bermain sendiri. 

Sedangkan anak perempuan itu malah melangkahkan kakinya kehalaman belakang rumah teman mama mereka. Elno sesekali melirik kearah gadis kecil itu, tapi mulai mencarinya ketika tak melihatnya lagi. 

Gadis itu sampai dipinggir sungai, ia hendak menggapai sesuatu diatas pohon itu, tapi ia berdiri telalu dekat dengan tepi sungai dan saat hampir menggapainya tepat saat itu juga kayu tempatnya berdiri patah dan ia tercebur kedalam sungai.

Elno panic ia segera meraih rating apapun didekatnya dan mengulurkannya kearah gadis itu sebelum benar-benar hanyut oleh aliran sungai. Gadis itu masih berpengang pada batu dan mengapai-gapai rating tersebut. Karena tidak sampai elno memberanikan diri, lebih mendengkat ketepi sungai dan..dapat! ia menariknya sekuat tenaga agar ia tidak tercebur juga. 

Begitu gadis kecil itu berada tepat ditepinya ia mengulurkan tanganya dan membantunya naik. 

“umm.. terimakasih,  aku vena. Nama lengkap aku Vernatha….”

“iya, iya. Aku Elno. Lain kali jangan memetik sembarangan. Ayo kembali”

Sesampainya, mereka mendapat teriakan histeris dari para orang tua yang cemas mencari mereka. Malam saat mereka berpisah gadis itu memberi permen kapas yang entah darimana ia dapatkan. 

“pokoknya kamu harus inget aku, aku juga akan ingat kalau kamu yang menyelamatkanku oke?” ia mengangguk, dan juga….tersenyum.

Sayang sekali gadis  pengidap skizofrenia itu tak mengingatnya sama sekali dan sialnya setelah sembuh gadis itu berfikir masa kecil mereka hanyalah bagian dari hayalannya saja. Salahnya juga ia malah pergi kakampung halaman ibunya dalam waktu yang lama. 

Ku pastikan kau mengingat anak lelaki itu, bagaimanapun caranya…

Vernatha

*****

Rintik ujan menetes dari langit, menemani seorang gadis yang menunggu dengan harap-harap resah hasil dari para panitia dan beberapa dosen atas karya seni yang ia ajukan. Entah datangnya darimana tiba-tiba Elno sudah duduk disampingnya menyodorkan buah pinus yang masih berada ditangkainya. 

“A-apa ini?” tanyanya heran. 

“Apalagi tentu saja buah pinus” ketusnya. Rambutnya terlihat berantakan, dan wajahnya juga kotor dengan tanah. Sebenarnya apa yang dilakukannya. Sampai ia tak berbentuk seperti itu. Verna mengamati dengan seksama daun, tangkai, dan buah itu sendiri. 

“Aku juga tidak buta, maksudku kenapa kau memberiku ini?”

Butuh jeda beberapa saat sebelum Elno menjawab. Wajahnya terlihat serius.  “Apa….kau, tidak merasa mengingat sesuatu?” 

Verna tampak berpikir, kemudian menunduk. Lalu menoleh padanya “emm….. entahlah… memangnya ada apa?” 

“Vernatha Mikhaella?” 

“ah, ya itu saya. Jadi apakah lukisan saya memenuhi criteria pameran?”  Verna berdiri, begitu namanya dipanggil oleh seorang wanita yang munkin lebih tua 3 tahun darinya.

“selamat karya lukis anda akan disertakan kedalam pameran” 

“benarkah? Terimakasih”  spontan saja verna langsung memeluk elno begitu orang yang tadi memberitahu kabar untuknya pergi.  Elno yang mendapat serangan mendadak hanya bisa terpanku dengan tangan menggantung diudara. Belum sempat ia membalas, verna lebih dulu tersadar dan melepas pelukannya.

“A-emm, aduh maaf ya tidak sengaja” ujar salah tingkah. Ia buru-buru mengambil tasnya dan berlalu darisana. Sedangkan, elno masih terpaku ditempatnya.

*****

Hari pameran pun tiba, verna meletakkan lukisannya kedinding polos dibelakangnya. Ia melihat lukisannya dengan bangga. Lukisan dengan tema dewa-dewi yunani yang berada diatas awan. Pameran itu mulai ramai dan orang-orang mulai berlalu lalang untuk melihat bebagai macam karya seni yang berada disana, mulai dari seni kriya, seni pahat, seni lukis, seni grafis, seni kramik dan seni patung. 

Tu-ttunggu duluu… Apa tadi? Seni grafis? Seni yang proses pembuatannya menggunakan teknik cetak? Jika seni jenis itu disertakan apa mungkin…

Verna menolehkan wajahnya kedepan secara reflek dan benar.. elno disana berada tepat didinding depan lukisannya, mereka sungguh dekat sampai bisa melihat satu sama lain dengan jelas. Lelaki itu tampak angkuh, ia berdiri begitu tegap dengan satu tangannya dimasukkan kedalam saku celananya.

Ia berbalik begitu mata mereka besibrobrok. Sesaat ia merasa berada disituasi paling tidak nyaman hingga sesorang menepuk pundaknya pelan. 

“hei, apa kau pemilik lukisan ini?” tanya seorang lelaki berambut pirang yang baru saja menepuk pundaknya. Yang ia jawab dengan anggukannya. 

“hmm.. aku sangat menyukainya. penataan warnanya, gradasi dan semua komponen yang terdapat didalamnya. Oh, iya. Kenalkan aku Draco. Yah jangan tertawa. Ibuku sangatmenyukai draco malfoy. sewaktu aku kecil, ibuku sering sekali menoton harry potter untukku. Sepertinya dia berharap aku akan menjadi bagian slytherin” ujarnya dengan nada bercanda. 

“Benarkah?” sahut Verna, ia menutup mulutnya saat ia tertawa. 

Sementara diseberangnya Elno menatap dengan tajam lelaki sok ramah yang tengah berusaha melucu itu, apa-apaan itu Verna malah tertawa dengan manisnya. Dani mengernyit dalam ketika melihat setitik warna merah berada didada pria itu, saat titik merah itu semakin cepat berkedip ia berlari dan langsung menyeret verna menjauh ketika mereka sampai pada pintu belakang…

DUARRRR…

Sesuatu meledak dari dalam sana menghacurkan sebagian tempat dari pameran tepat ketika mereka melompat didepan mereka terdapat kolam yang lumayan dalam. Elno berenang sambil menggenggam tangan verna. Ia membantu verna naik saat sudah berada ditepi kolam. Seolah terhantam sesuatu ia merasa familiar dengan apa yang barusan terjadi. Uluran tangan itu..

Apakah uluran tangan yang sama? Apa itu bukan imajinasi skizonya? Verna meneliti wajah didepannya yang masih menatap gedung pameran didedapannya. 

*****

Bom bunuh diri

“Sialan, Apa yang dipikirkannya sampai melakukannya ditempat itu. dan kalau saja tadi terlambat” desisnya, sungguh kemarahan memenuhi kepalanya saat ini.

“Dan berhentilan mengikutiku seperti anak anjing!” selorohnya pada gadis yang sejak tadi mengekorinya. 

“Elno?” lirihnya. 

Lelaki itu menaikan sebelah alisnya “Kenapa?” 

“emm.. apa dulu kau.. pernah menyelamatkan anak perempuan saat hampir hanyut disungai?” 

Elno tersenyum, matanya terlihat berbinar. “kau mengingatnya? Benarkah?” 

Gadis itu menggangguk semangat, matanya berair. “aku pikir hiks, aku pikir itu akibat skizoku” ia menggelap ingusnya dengan lengan bajunya.

Mereka berpelukan. sebagian merasa cinta masa kecilnya kembali, sebagian yang lain bahagia pahlawan kecilnya kembali.

Penulis: Rismawati Ariesta Wulandari

(Visited 12 times, 1 visits today)

Join The Discussion