Article

Diganjar Pemimpin Muda, Masih Mampukah Surakarta Menjadi “Afiliator” Budaya?

Gambar: pemimpin muda Surakarta
Sumber foto: https://karanganyarnews.pikiran-rakyat.com

Berbicara tentang Kota Surakarta, banyak masyarakat umum yang masih kebingungan membedakan dimana Solo dan Surakarta, padahal itu adalah hal yang sama. Sebenarnya sah-sah saja masyarakat yang biasa menyebut Kota Solo, namun tak banyak yang tahu bahwa Solo merupakan sebuah nama desa, lebih tepatnya Desa Sala.

Singkat cerita setelah hancurnya Keraton Kartasura, Raja Pakubuwono II hendak memilih lokasi baru sebagai pusat pemerintahannya. Terdapat tiga pilihan kala itu, diantaranya Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu. Namun, akhirnya yang terpilih adalah Desa Sala. Setelah pemilihan lokasi, pembangunan istana dan kirab dari Kartasura menuju Desa Sala, akhirnya Pakubuwana mengeluarkan sabda, “…Desa ing Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun tetepake dadi negaraningsun, ingsun parigi jeneng Nagari Surakarta Hadiningrat”. Sejarah singkat tersebut membuktikan bahwa Surakarta adalah suatu negara walaupun pada akhirnya berhenti pada titik kotamadya.

Yang muda yang berkarya, priyayi muda cukup leha-leha. Mungkin itulah perspektif masyarakat terhadap tokoh publik dengan kesenjangan masa lalu yang besar. Mereka memiliki fasilitas yang mumpuni dibandingkan yang lain. Namun, mereka juga memiliki kewajiban yang sangat berat dibandingkan orang biasa. Sebut saja kemana-mana mengenakan kebaya, tirakat di kala orang tidur, dan menari di saat yang lain sedang bermain.

Saat ini merupakan era dimana hal-hal tersebut sudah tidak terjadi. Semua orang bebas melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Sisi baik arus modernisasi, kebudayaan Jawa semakin mudah diterima masyarakat dengan adanya kelonggaran dibawa keluarnya budaya di dalam keraton. Akan tetapi, apakah kebudayaan tersebut akan menurun pada anak muda dan seterusnya mengingat budaya bukan hanya tentang istana, musik, tari, atau dunia spiritual melainkan dapat mempengaruhi akhlak dan cara seseorang dalam menjalankan kehidupannya?

Daerah Istimewa Surakarta adalah hal yang tabu bagi orang awam sekalipun masyarakat Solo Raya sendiri. Tak banyak yang tahu bahwa Surakarta adalah negara berdaulat pertama yang menggabungkan diri kepada NKRI sebelum Yogyakarta. Namun, Sri Sunan dan Adipati yang sedang berusaha menyelesaikan panasnya Kota Solo kala itu seakan-akan ditumpas begitu saja.

Dengan disahkannya Undang-Undang No.10 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Jawa Tengah, yang di dalamnya tercakup pula wilayah Karesidenan Surakarta otomatis menghilangkan posisi DIS dalam lingkup negara ini. Mirisnya ini berarti kekuasan selama tepat 200 tahun menjadi Ibu Kota Negara Mataram telah usai di mata negara, namun bukan kawulanya.

Luluhnya Daerah Istimewa Surakarta tanpa adanya kata sepakat ini menimbulkan berbagai masalah. Terutama kebudayaan yang bersumber dari Keraton dan Mangkunegaran. Seakan keduanya menjadi bangunan kuil tua ditengah Kota Surakarta, penuh dengan lumut disetiap sudut bentengnya. Namun, kecanggihan sosial media mungkin membawa dampak positif bagi keberadaan pengaruh budaya di Surakarta, mulai dari fitnah pro Belanda, tersebarnya video lama masa kejayaan Surakarta, dan peristiwa internal yang diketahui publik tentu menjadi viral karena sosial media.

Sebut saja ketika beberapa keluarga Keraton Surakarta yang terkurung selama beberapa hari di dalam keraton. Berita itu menggemparkan Kota Solo bagi siapapun yang mendengarnya. Para Gusti itu juga memvideokan keadaan keraton yang sangat memprihatinkan dan aktivitas kebudayaan yang mati suri karena adanya konflik keluarga ditambah dengan adanya pandemi. Selain itu, Gibran sebagai Walikota Surakarta mulai mendekat dengan keraton, begitu juga dengan pejabat-pejabat negara yang wira-wiri mengunjungi keraton entah punya tujuan apa.

Konflik yang terjadi membawa masyarakat terkhusus pemuda untuk mencari tahu seluk beluk keraton. Sebagai contoh banyak sekali orang yang meliput segala kegiatan budaya untuk mencari viewers. Ada juga mengaitkan permasalahan tersebut dalam pendidikan atau penelitian mahasiswa sebagai bukti implementasi tambahan. Dalam hal ini bukan berati keraton mencari perhatian dalam larutnya konflik, namun tak dapat dielak juga keraton berkembang lagi setelah adanya konflik.

Gibran Rakabuming Raka, walikota muda ini mau tak mau harus berurusan dengan budaya hampir tiap harinya dengan aturan-aturan tersendiri yang harus dihormati, yakni aturan adat. Tuntutan untuk melestarikan budaya merupakan salah satu hal baku yang menjadi harapan masyarakat Surakarta pada penerusnya.

Menapaki perjalanan Gibran dalam melestarikan budaya, ia pernah mengadakan parade prajurit di depan keraton. Tujuannya anak muda tahu dan belajar bahwa “bangunan warna biru” dengan tembok tingginya itu adalah keraton, sebuah pusat pemerintahan negara kala itu.

Selain itu ia juga merevitalisasi sebagian bangunan budaya agae tidak hilang karena runtuh. Pelestarian budaya juga ia lakukan secara digital melalui sosial media, diantaranya mengadakan pentas seni yang melibatkan banyak pihak. Dengan melibatkan masyarakat, secara tidak langsung akan membantu mengenalkan budaya sekalipun stakeholder itu sebagai desainer, event marketing, penata venue dan teknisi.

Ditengah-tengah Gibran memimpin kota dan terlepas dari kemelut yang ada pada Kasunanan, Mangkunegaran hadir dengan kepemimpinan yang baru setelah mangkatnya KGPAA Mangkunagoro IX GPH. Bhre Cakrahutomo Wirasudjiwo naik tahta sebagai Pengageng Puro Mangkunegaran. Pengukuhannya pun tak lepas dari desas-desus konflik internal yang viral di media sosial.

Salah sebut hari dalam pembacaan piagam pengukuhan oleh Permaisuri Mangkunagoro IX dalam live streaming dan kanal Youtube pun memberikan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Naiknya adipati muda ini otomatis membuka mata Masyarakat Solo Raya yang baru tahu kalau ada istana lagi di Surakarta. Adanya Jumenengan Dalem yang menampilkan pusaka-pusaka, gendhing dan tari Bedhaya Anglir Mendung dapat dinikmati secara digital.

Tari Bedhaya Anglir Mendung, menjadi suatu aktivitas budaya yang unik mengingat beberapa hari sebelum ditampilkan para penari melakukan latihan setiap sore hari, saat itu selama seminggu pada tepat saat tari dikeluarkan langit Soloraya dirundung mendung dan hujan yang sangat besar. Namun saat tari ini ditampilkan dalam acara inti sama sekali tidak ada hujan juga dengan hari-hari berikutnya. Hal ini menjadi salah satu dari sekian banyak kearifan lokal masyarakat Surakarta dan dapat menjadi potensi konten budaya yang patut diangkat oleh pemuda.

Sebagai Adipati Mangkunagoro X yang baru bertahta dan masih muda, tentu menjadi wajah yang baru tersendiri di samping Gibran Rakabuming Raka. Namun, dalam perjalanannya Puro Mangkunegaran juga memiliki adipati muda, seperti pada masa Mangkunagoro VIII yang sama persis naik tahta pada usia 24 tahun.

Pada era muda-mudi millenial ini menjadikan tugas tersendiri bagi Mangkunagoro X untuk mempertahankan budaya ditengah anak muda. Hal itu tentunya tidak dapat dilakukan oleh raja sendiri atau keluarga keraton saja, namun harus didukung semua pihak khususnya para pemuda.  Mengenal dan melestarikan budaya tidak harus dengan menjadi abdi, tetapi dengan cara pemuda sendiri melalui kemampuannya.

Mengenai hal itu istana ini sudah mulai menujukkan tren baik contohnya adanya event trading, Gala Dinner G20, dan pameran lainnya yang memilih Mangkunegaran sebagai venue sehingga otomatis kebudayaan itu akan dipamerkan. Langkah itu dapat dilakukan dengan tujuan budaya akan tetap ada membersamai kegiatan mayarakat pada saat ini.

Adanya langkah yang diambil untuk melestarikan budaya, membuktikan kebudayaan masih relevan dan harus dipertahankan. Bagaimana cara anak muda ini menjaga budaya namun tetap mengikuti perubahan zaman seperti melibatkan media digital dan teknologi lain dapat mematahkan pemikiran bahwa budaya istana dan jawa adalah hal yang lapuk dan usang.

Hal yang optimal untuk mempertahankan budaya sesuai dengan Sabda Dalem Mangkunagoro X, yakni sebagai pemuda harus fokus dan tidak tergiur mengenai euforia kejayaan masa lalu budaya Jawa. Namun, bagaimana kita mengembangkan budaya dengan cara kita sendiri. Walaupun begitu juga tetap berakar pada koridornya, yakni adat.

Istana atau keraton sebagai pemangku budaya menurutnya wajib membuka diri kepada siapapun untuk menjadi wadah dan kolaborator. Anak muda sangat tepat untuk berkarya sesuai dengan passionnya, namun yang beda adalah dimuat budaya yang kita punya. Sehingga, dengan kemudahan yang diberikan pemuda dapat menjadi “afiliator” budaya kepada pemuda yang lain, dengan cara yang lebih mumpuni dengan tetap merangkul orang tua untuk melangkah. Karena sejatinya tua atau muda itu hanya kebetulan dan yang harus melestarikan budaya itu adalah semua orang.

(Visited 71 times, 1 visits today)

Join The Discussion