Article

Ketika Hustle Culture Menjadi Tren Baru di Kalangan Mahasiswa

Sumber gambar: energepic.com

Narasi BudayaCulture adalah suatu kebiasaan dimana orang menganggap bekerja keras secara berlebihan merupakan sesuatu yang bagus bahkan menarik untuk dilakukan. Menurut orang-orang yang menjalani kebiasaan ini, kerja keras berlebih adalah suatu cara jitu menuju kesuksesan. Selain itu bekerja keras secara berlebihan atau yang biasa disebut sebagai overwork ini dinilai sebagai suatu hal yang menunjukkan bahwa kita memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Budaya kerja yang awalnya hanya dijumpai di kalangan pekerja ini, saat ini telah merambah ke kalangan mahasiswa. Tak jarang kita jumpai para mahasiswa yang nampak sibuk sana sini, menatap layar laptop hingga tengah malam bahkan dini hari, mengikuti berbagai kegiatan organisasi ataupun kemahasiswaan, belum lagi berbagai tugas perkuliahan yang datang bertubi-tubi. Entah hal tersebut dilakukan hanya demi instastory ataupun memang murni keinginan dari hati, namun nyatanya semenjak masa pandemi ini “sok sibuk”’ 24/7 dianggap sebagai hal yang lumrah, produktif, dan justru menginspirasi.

Lalu, apa yang menyebabkan kalangan mahasiswa juga mulai “terjangkit virus” hustle culture ini? Tak jauh berbeda dengan kalangan pekerja, para mahasiswa juga menganggap bahwa bekerja keras secara berlebihan merupakan suatu proses meraih kesuksesan di masa depan. Selain itu anggapan salah kaprah bahwa semakin sibuk maka akan semakin produktif juga melatarbelakangi tren ini. Padahal dalam konteks ini, produktivitas diukur dari kemampuan kita dalam menghasilkan sesuatu dan bukan diukur dari seberapa panjang jam kerja kita. Sebenarnya, budaya ini tidak sepenuhnya membawa dampak buruk. Dengan adanya budaya ini justru mampu memantik semangat di kalangan mahasiswa, serta meningkatkan daya saing dan kemampuan berpikir kritis pada mahasiswa. Selain itu memang tidak bisa dipungkiri bahwa untuk meraih kesuksesan, ada harga yang harus dibayar. Namun, bagaimanapun juga memang hustle culture ininyatanya cenderung membawa dampak negatif. Mulai dari dampak buruk bagi kesehatan fisik karena kurangnya waktu istirahat, rentan mengalami burn out, stress,bahkan berbagai macam gangguan mental, menimbulkan persaingan yang terlalu berlebihan, dan masih banyak lagi. Tidak dapat dipungkiri memang terkadang berbagai tugas dan kegiatan mahasiswa yang datang bertubi-tubi membuat kita harus begadang, mengerahkan energi secara ekstra, dan mengorbankan waktu kita untuk bersenang-senang. Namun hal ini menjadi salah dan berbahaya jika terus-terusan dilakukan tanpa pertimbangan, bahkan sangat berbahaya jika kita juga dengan sengaja mengikuti berbagai kegiatan hanya untuk terlihat produktif atau ataupun sekedar mendapatkan kesan “wah” dari orang lain. Padahal, semua hal yang dikerjakan secara berlebihan tidaklah baik, kesuksesan tidak sepenuhnya ditentukan oleh kerja keras dan produktivitas tidak ditentukan dari seberapa panjang waktu yang telah yang didedikasikan.

Sekarang, jika kita hampir atau bahkan sudah terjebak dalam hustle culture ini apa yang harus kita lakukan? Kunci dari mengatasi hustle culture di kalangan mahasiswa ini yakni:

  1. Memahami bahwa dalam perkuliahan, kerja cerdas jauh lebih efektif dari kerja keras. Kerja cedas maksudnya adalah melakukan sesuatu secara efektif, efisien, dan kreatif, misalnya melalui pengelolaan waktu yang benar, menentukan skala prioritas, mampu melihat peluang, resiko, dan solusi dalam setiap permasalahan. Sedangkan kerja keras cenderung mengerahkan seluruh waktu dan energi untuk melakukan suatu hal dan biasanya kurang dalam menggunakan kreatifitas atau cenderung monoton. Mengapa di perkuliahan kerja cerdas jauh lebih efektif? Tentu saja karena dalam proses pembelajaran di perkuliahan, yang harus kita gerakkan adalah otak kita. Mengerahkan energi dan waktu sebanyak mungkin tidak akan berpengaruh besar karena kuncinya di sini adalah apa yang ada dalam kepala kita.
  2. Kenali kapasitas diri.Mengenali diri sendiri mulai dari kelebihan, kekurangan, dan lain sebagainya merupakan hal yang sangat penting. Seringkali kita menjumpai mahasiswa mengikuti terlalu banyak kegiatan (yang sebenarnya tidak wajib) tanpa mengukur terlebih dahulu kemampuan diri sendiri, bahkan ada juga yang hanya ikut-ikutan atau ‘FOMO’ (Fear of Missing Out). Dengan mengenali kapasitas diri, kita pasti dapat menentukan kegiatan mana saja yang cocok serta bermanfaat untuk diri kita dan tidak mudah ikut-ikutan berbagai kegiatan secara asal tanpa berpikir panjang. Cara paling mudah untuk mengetahui kapasitas diri ini adalah dengan mengenal potensi serta kemampuan diri sendiri, lalu mencoba hal-hal yang sekiranya sesuai dengan potensi diri tersebut.
  3. Perlu menanamkan pemahaman bahwa belajar adalah suatu proses terus menerus dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkan pengalaman baru, meningkatkan kemampuan diri, serta meraih kesuksesan, mereka tidak harus mencoba dan mengerjakan segala hal saat ini juga hingga. Salah satu hal yang mendasari mahasiswa terjebak dalam hustle culture ini karena keresahan mereka apabila mereka tidak mencari tahu dan mencoba segala hal pada saat ini, maka kedepannya masa depan mereka akan suram. Hal tersebut kemudian membuat mereka memutuskan untuk mengikuti berbagai kegiatan sebanyak mungkin hingga melewati batas waktu bekerja. Memang tidak ada kesuksesan yang mudah dan instan, namun alangkah lebih baik jika semuanya dikerjakan sesuai dengan porsi dan tanggung jawabnya masing-masing.

Apabila memahami tiga hal tersebut, dapat dipastikan bahwa “korban virus” hustle culture ini akan berkurang. Sekali lagi, perlu dipahami bahwa mengglorifikasi overwork seperti ini tidaklah baik, tidak pula “estetik”. Ada dampak-dampak negatif yang menanti di masa depan yang harus kita perhatikan. Jangan sampai kita saat ini terlalu fokus mengejar apa yang ada di depan, hingga kita justru mengorbankan bahkan tidak menyadari hal-hal yang berharga di sekitar kita.

(Visited 145 times, 1 visits today)

Join The Discussion