Esai

Tradisi Syawalan Megono Gunungan Linggoasri

Narasi Budaya – Tradisi Syawalan merupakan tradisi yang dilaksanakan saat bulan syawal, tepatnya tujuh hari setelah lebaran yang diperingati sebagai bentuk rasa syukur setelah bulan suci Ramadan dan sebagai ajang untuk mempererat tali silaturahmi serta memperkuat kebersamaan. Gunungan Megono merupakan salah satu tradisi syawalan yang berada di Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, tepatnya di Desa Linggoasri. Megono adalah makanan yang terbuat dari potongan nangka muda dengan perpaduan kelapa parut yang dibumbui sehingga bercita rasa gurih. Mengapa Megono yang dipilih untuk dijadikan gunungan? Sebab Megono merupakan makanan khas Pekalongan yang yang telah menjadi hidangan iconic Kabupaten Pekalongan.

Sejarah Gunungan Megono berawal sejak tahun 2012 yang tidak lepas dari peran serta pemerintah kabupaten, dinas pariwisata, dan tokoh budaya pada masa Bupati Pekalongan ketiga, yakni Amat Antono. Pada mulanya tujuan dari pelaksanaan tradisi Gunungan Megono adalah untuk menarik wisatawan berkunjung ke objek wisata Linggoasri serta membangkitkan ekonomi lokal. Selanjutnya hingga saat ini Gunungan Megono telah menjadi tradisi di tengah masyarakat Linggoasri.

Tradisi Gunungan Megono dimaknai sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan atas nikmat dan karunia-Nya yang direpresentasikan dalam wujud Gunungan Megono dan gunungan hasil bumi. Meskipun tradisi ini adalah tradisi baru, tetapi makna dari tradisi ini begitu luhur apalagi jika dikaitkan dengan konsep gunungan atau tumpengan yang telah berkembang pada masyarakat Jawa sejak dahulu. Arti dari tumpengan sendiri yaitu tumuju ring pangeran atau menuju ke yang Esa. Setiap lauk yang berada di sekitar Megono Gunungan memiliki makna tersendiri, seperti halnya telur rebus yang bermakna setiap manusia harus merencanakan tindakannya terlebih dahulu supaya selamat dan sukses, ayam dimaknai sebagai simbol pelindung dari berbagai sifat buruk seperti sombong angkuh dan arogan, dan sebagainya.

Pelaksanaan tradisi Gunungan Megono sempat terhenti selama 2 tahun, tepatnya pada tahun 2020 dan 2021 akibat pandemi Covid-19 karena dalam tradisi ini melibatkan orang banyak sehingga menimbulkan kerumunan, maka untuk mencegah meluasnya wabah kebijakan pemerintah dengan membatasi kegiatan masyarakat harus dipatuhi demi menjaga keselamatan bersama. Mulai tahun 2022 tradisi Gunungan Megono kembali diadakan, saat itu pemerintah menyediakan gerai-gerai vaksinasi dan masyarakat dihimbau agar prosesi perebutan gunungan dilakukan dengan tertib. Kemudian pada tahun ini, tepatnya Sabtu tanggal 29 April 2023, acara Gunungan Megono kembali diaksanakan dan diikuti oleh 19 kecamatan se-Kabupaten Pekalongan.

Bupati Pekalongan, Fadia Arafiq menuturkan bahwa saat ini Gunungan Megono dilakukan secara sederhana karena masih banyak kebutuhan yang harus diprioritaskan seperti jalan, namun pada tahun 2024 tradisi Megono akan dilaksanakan lebih meriah dan mengundang artis nasional demi menghibur masayarakat Kabupaten Pekalongan. “Di tahun 2024 tradisi Gunungan Megono akan dilaksankan lebih meriah lagi dan mengundang artis, agar masyarakat Kabupaten Pekalongan terhibur, karena orang akan senang biasanya ketika menunggu syawalan serta berkumpul dengan keluarga.” Meski demikian, pelaksanaan tradisi Megono tetap menarik karena pada tahun 2023 Desa Linggoasri resmi launching sebagai desa moderasi kerukunan antarumat beragama.

Prosesi Gunungan Megono dimeriahkan dengan kirab hasil bumi oleh berbagai kecamatan di Pekalongan. Dahulu Gunungan Megono dikirab dari kantor kepala desa Linggoasri hingga ke lapangan parkir objek wisata Linggoasri, namun sekarang ini gunungan di kirab dari lapangan desa Linggoasri hingga ke lapangan parkir objek wisata Linggoasri. Untuk Gunungan Megono sendiri tidak dikirab untuk meminimalisir resiko kerusakan, namun Megono tersebut telah disiapkan pada tujuan akhir kirab yaitu lapangan parkir objek wisata Linggoasri. Selain hasil bumi masing-masing kecamatan juga menyuguhkan kesenian mulai dari drumband, rebana hingga tari tradisonal.

Tak hanya dipertontonkan didepan masyarakat, namun gunungan dari berbagai kecamatan tersebut diperlombakan dan disertai dengan  nomor urutnya masing-masing. Setelah sampai di satu titik, dilanjutkan pertunjukan seni dari iringan dan acara penyambutan  pertunjukan Tari Rebana. Selanjutnya adalah sambutan kepada bupati dan jajarannya di panggung penghormatan, kemudian doa dipanjatkan sebelum dilakukan pemotongan tumpeng kuning dan acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat adalah perebutan gunungan Megono dan hasil bumi yang dipercaya sebagai bentuk mengalap berkah atau meraih keberkahan. Pada tahun 2023, juara lomba gunungan hasil bumi dimenangkan oleh Talun sebagai juara pertama, Kedungwuni sebagai juara kedua dan Kandangserang juara tiga, sedangkan kategori terkreatif dimenangkan oleh Kecamaatan Karangdadap, terfavorit oleh Kecamatan Kesesi, terheboh oleh kecamatan kajen serta terkompak oleh Kecamatan Wonopringgo.

Berbagai macam tradisi masyarakat di Linggoasri tidak hanya Gunungan Megono. Linggoasri sendiri merupakan salah satu daerah yang memiliki masyarakat majemuk, bermacam keyakinan ada didalamnya termasuk Hindu yang memiliki tempat ibadah sendiri di Linggoasri yaitu Pura Kalingga Satya Dharma. Masyarakat Linggoasri begitu menjunjung tinggi nilai toleransi, hal ini dibuktikan dengan masyarakat yang turut melancarkan festival ogoh-ogoh, sebaliknya tradisi syawalan Gunungan Megono juga turut dimeriahkan oleh seluruh masyarakat. Tak heran jika masyarakat Linggoasri memiliki rasa untuk menghargai perbedaan. Sikap tersebut sangat mendukung kelestarian tradisi, apalagi himbauan dari pemerintah untuk melestarikan tradisi-tradisi yang ada.

Tradisi Gunungan Megono memiliki pengaruh yang berarti bagi masyarakat Linggoasri di antaranya dalam bidang ekonomi, tradisi ini dapat meningkatkan penghasilan bagi pedagang lokal dan meningkatkan eksistensi hasil kebun Linggoasri seperti kopi dan kapulaga. Dalam bidang sosial, tradisi ini dapat mempererat tali silaturahmi dan menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat. Dalam bidang budaya, tradisi ini dapat melestarikan kesenian dan mengenalkan warisan nenek moyang, seperti Megono yang dikenal sebagai makanan khas Pekalongan. Dalam bidang pendidikan, tradisi ini memiliki makna filosofis, simbolis dan nilai-nilai mendalam. Tradisi megono menjadi wadah untuk generasi sekarang mengenal daerahnya sendiri serta mewujudkan rasa cinta tanah air. Dalam bidang politik, tradisi ini tak jauh dari pengaruh pemerintah dalam memperdayakan daerahnya terutama pemerintah Kabupaten Pekalongan serta dinas pariwisata.

Editor : Ghadis Tiranita

(Visited 137 times, 1 visits today)

Join The Discussion