Esai

Talk About Gendering and Relationship: Logika, Perasaan, dan Kesetaraan

Narasi Budaya – Perdebatan terutama antara pria dan wanita kerap kali terjadi sehingga berujung menimbulkan salah paham. Banyak sumber mengatakan bahwa lelaki memang cenderung berpikir secara logika dan perempuan cenderung berpikir melibatkan emosi atau perasaan. Kedua hal tersebut memang menjadi hal yang ‘istimewa’ dalam membedakan laki-laki dan perempuan.

Salah satu pemicu perceraian dalam rumah tangga adalah kesalahpahaman. Begitu pula dalam hal berpacaran, karena saat salah paham, masing-masing pihak mungkin akan merasa kurang cocok dengan pasangannya sehingga memutuskan untuk mengakhiri hubungan.

Kemudian, apa hubungannya antara logika, perasaan, dan kesetaraan gender? Penyempitan arti dalam kata logika dan perasaan merupakan cara berpikir. Cara berpikir akan memengaruhi bagaimana menanggapi mengenai kesetaraan gender. Tak sedikit yang salah kaprah dengan kesetaraan gender akibat pola berpikir logika dan perasaan yang salah sehingga perlu pemahaman lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Bicara tentang logika, pada umumnya semua orang memahami bahwa logika adalah cara berpikir manusia. Menurut Wikipedia, logika adalah hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sedangkan, emosi atau perasaan adalah keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu, cenderung lebih peka dengan keadaan dan berkaitan dengan hati.

Cara berpikir laki-laki dengan logika akan kompleks dan logis, tetapi kurang dalam melibatkan perasaan. Maka seringkali para perempuan menganggap laki-laki tidak peka. Pola berpikir perempuan juga sebenarnya hampir sama tetapi tidak se-kompleks laki-laki, ia akan lebih mempertimbangkan hal tersebut dengan perasaan. Mungkin ada segelintir laki-laki atau perempuan yang tidak relate, tetapi tanpa kita sadari, hal tersebut berjalan begitu adanya. Perbedaan itulah yang menjadi titik asal muasal kesalahpahaman.

Menyikapi tentang kesetaraan gender, topik yang selalu hangat dibahas di mana-mana pada era saat ini. Saya akan mencoba membahas tentang bagaimana logika dan perasaan memengaruhi cara pandang dan mindset dalam menanggapi kesetaraan gender.

Sebelum itu, disclaimer terlebih dahulu bahwa tidak semua laki-laki atau perempuan memiliki cara berpikir yang sama seperti yang saya utarakan disini, ada yang lebih dewasa dan dapat mengontrol diri mengenai hal-hal ini. Di sini saya akan mengambil kasus-kasus yang pernah saya dengar, dari media social dan bahkan pernah saya alami sendiri.

Apabila menggunakan logika, semua akan setara, baik lelaki maupun perempuan, masa bodoh dengan perasaan masing-masing. Sebaliknya, dengan berpikir melibatkan perasaan akan merasa hal tersebut setara apabila perasaan tersebut tersalurkan sehingga timbul kelegaan, masa bodoh hal tersebut salah atau benar.

Contoh nyata adalah ketika perempuan sedang PMS. Emosi perempuan akan cenderung meningkat dan suka marah-marah, laki-laki biasanya menjadi korban pelampiasan, dan hal ini sering terjadi. Cara berpikir dengan logika, tentu itu hal yang tidak benar, “Seharusnya jangan seperti itu, tidak ada kesetaraan gender apabila itu terjadi, yang ada lelaki harus selalu mengalah.” Sedangkan perempuan akan berpikir dengan mementingkan perasaan, “Itu wajar,” “Mengapa kok tidak peka dengan keadaan,” “Masa bodoh dengan kesetaraan,” “Hal tersebut wajar bagi perempuan jika marah-marah saat PMS,” dan celotehan-celotehan lainnya.

Contoh lain adalah hal menampar. Seperti dilihat di film-film, selalu adegan cewek menampar cowok, jarang sekali kebalikannya. Mungkin pernah ada, tetapi jarang. Meskipun cewek yang salah, tidak ada hal seperti itu, dengan sebutan sering sekali kita dengar “Cewek selalu benar.” Secara logika, pasti akan berpikir “Itu tidak benar, di mana kesetaraan apabila salah satu menjadi korban dan harus mengalah, seharusnya imbang, cowok juga boleh menampar cewek juga.” Kemudian ada yang pernah membicarakan mengenai “Cewek suka mukulin cowok, berarti cowok juga boleh mukulin cewek.” Sedangkan dengan perasaan akan berpikir, “Kamu pantas dapat itu karena kamu sudah menyakiti hatiku.” “Mengapa kamu menampar aku? Cowok itu tidak boleh menampar cewek, kasar sekali.”

Contoh-contoh kasus sederhana di atas yang akhirnya menimbulkan stereotipe-stereotipe di masyarakat tentang laki-laki dan perempuan. Kadang menimbulkan pemikiran yang salah besar. Banyak orang membela diri dengan berlindung dibalik kata ‘kesetaraan gender’ padahal pemikiran dan cara pandangnya belum tentu sepenuhnya benar.

Pada contoh kasus di atas misalnya, apabila logika berkata “Cewek suka mukulin cowok, berarti cowo juga boleh mukulin cewe,” itu hal yang jelas tentu salah, hal kekerasan tidak pernah dibenarkan. Kemudian perasaan berkata, “Kenapa jika aku marah-marah saat PMS? Cewek itu wajar seperti itu, tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender apabila bicara tentang PMS, lelaki seharusnya bisa memahami itu,” seringkali pemikiran seperti itu memicu keributan dalam relationship.

Meskipun tidak sepenuhnya benar, tetapi bagaimanapun sebagai perempuan kita juga harus memahami laki-laki. Mungkin marah-marah sehari masih terbilang tidak apa-apa. Namun, jika setelah melewati masa PMS akan tetap berlanjut marah-marah dan menjadi kebiasaan bagaimana? Tentu jangan, karena lama kelamaan akan menimbulkan toxic dalam hubungan dan tidak ada kesetaraan.

Kesetaraan gender tidak ada korelasinya dengan hal-hal berbau negative seperti kekerasan, egois, dan keras kepala. Apabila anda merasa mendapatkan kesetaraan seperti karena melakukan hal negatif, maka itu pemikiran yang sangat salah. Kesetaraan bicara mengenai hal yang menguntungkan dan berdampak baik bagi masing-masing pihak sehingga tidak dirugikan atau sama-sama merasa rugi.

Permasalahan ini sangat umum dan sangat sering dibahas. Logika dan perasaan belum tentu sejalan, jika tidak sejalan maka pasti akan susah untuk menemukan benang merahnya. Kesetaraan akan diraih apabila dari kedua belah pihak saling mencoba untuk mengerti, sama-sama mengalah, mengakui adanya perbedaan dan persamaan.

Kesetaraan bukan berarti batu dibalas batu agar imbang, akan tetapu kesetaraan akan tercipta sendiri apabila dapat mengendalikan dan menguasai diri. Laki-laki jangan terlalu keras kepala dan perempuan jangan terlalu egois dengan perasaannya sendiri. Keterbukaan antara kedua belah pihak adalah jalan keluarnya, sehingga komunikasi adalah tipsnya. Bersama-sama belajar bagaimana mengolah antara logika dan perasaan menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas bersama, bukan menjadi hal yang memicu keributan.

Menghadapi permasalahan dengan kepala dingin, mau mendengarkan pendapat orang lain, terbuka, komunikasi yang lancar, pemahaman yang baik antargender, pengendalian diri, dan kedewasaan pola berpikir. Semua itu adalah kunci sehingga masing-masing orang akan merasakan kesetaraan dan keadilan dalam pergenderan. Apabila sudah merasakan hal tersebut, akan timbul kesadaran akan kecocokkan kita dengan pasangan kita.

Editor: Nila Prihartanti

(Visited 24 times, 1 visits today)

Join The Discussion