Cerpen

Tradisi Menjelang Idulfitri di Bumi Sukowati

“Kukuruyuk … kukuruyuk ….” Tidurku yang lelap dibangunkan oleh suara seekor ayam dari dering gawaiku. Tepat pukul 03.00 WIB yang tampak pada layar gawaiku. Sesegera mungkin aku bersiap menjalankan ibadah. Tak lupa aku sahur di tanggal 20 bulan Ramadan yang beberapa hari lagi akan menjadi kenangan. Walaupun hanya tinggal beberapa hari lagi, tetapi aktivitas masih berjalan seperti biasa. Belum tiba hari libur Lebaran. Setelah melaksanakan ibadah, aku pun berberes untuk sekolah. Adanya penerapan pesantren kilat pada bulan Ramadan sudah menjadi tradisi di sekolahku.

Dalam perjalanan ke sekolah terasa riuh karena kebisingan oleh suara kendaraan-kendaraan yang melintas di sepanjang jalan. Penumpang penuh berdesak-desakan ditambah adanya asap rokok yang membuat bus terasa pengap. Sungguh memilukan. Tak terasa 30 menit telah berlalu. Aku telah sampai di perempatan yang selalu membuat rindu. Kemudian, aku naik angkot hijau yang di dalamnya terdengar lagu Poco-Poco sehingga tak terasa aku telah tiba di SMA tercinta. 

Aku berjalan perlahan menuju ruang kelas dan tiba-tiba “Duaarrr!!!” sontak aku terkejut. Sosok perempuan yang berjalan di belakangku dan mengagetkanku seolah-olah membuat jantungku berdetak tak beraturan.

“Ya Allah, kaget aku,” ucapku.

“Hmm … dasar kagetan,” ujarnya.

Biarin … ada apa sih?” tanyaku.

“Kamu itu loh kerajinan, pukul segini udah dateng,” jawabnya agak sebal.

“Lho ‘kan kamu juga,” ucapku.

“Iya sih, bener. Wkwk, eh btw kamu ikut BuBar acara kelas nggak?” tanyanya.

“Gak,” jawabku singkat.

“Lha kenapa? ‘kan kamu yang bilang sendiri kalau kita itu harus solid,” ujarnya bertanya-tanya.

“Tapi aku males kalau ikut acara-acara kelas gitu,” jawabku.

“Dasar plinplan!” ujarnya ketus. 

Akhirnya, aku dan Sinta sampai di kelas dengan menyudahi percakapan yang berbumbu perdebatan. Pesantren kilat diisi dengan pembacaan Al-Qur’an, salat dhuha dan cerita tentang agama. Teriknya sinar matahari pun sudah terasa dan pembelajaran hari ini sudah usai. Seperti halnya berangkat sekolah, pulang sekolah pun menggunakan transportasi yang sama, tetapi dengan rute yang berbeda.


***

Waktu untuk berbuka puasa masih lama. Teman-teman kelasku melakukan kegiatan ngabuburit untuk menunggu waktu berbuka puasa dan nantinya akan mengadakan buka bersama. Sementara itu, aku ngegabut di rumah. 

“Tuing … tuing ….” Dering gawaiku berbunyi, pertanda ada WhatsApp masuk. Pesan kubuka dan ternyata dari Penta yaitu salah satu teman kelasku.

Dia bertanya, “Kamu di mana? Kok gak ikut ngabuburit?”

Kujawab pesannya, “Aku di rumah, aku lagi mager, nih.”

“Lho kok gitu? Kamu ‘kan bagian dari kita, gak ada kamu kurang seru, tau,” jelasnya.

“Tapi, maaf ya, aku bener-bener gak bisa. Sebenere aku juga mau gabung sama kalian, tapi keadaan yang membuatku tak berkutik,” jelasku.

“Oke deh kalau begitu, aku juga tak bisa memaksamu,” jawabnya.

“Oke, makasih atas pengertiannya,” balasku dan pesan berakhir dengan kalimat “Iya, sama-sama.”

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB, ± 1 jam lagi waktu berbuka puasa tiba. Para pedagang takjil di pinggir jalan sudah mulai membuka kedainya.

“Tong … tong … tong.” Suara kentongan itu mengingatkanku pada sesuatu.

“Ah … ya ampun, aku lupa kalau hari ini likuran.”

Aku pun segera memberi tahu ibuku yang sedang bersantai. Ternyata, ibuku sudah tahu kalau hari ini bancakan likuran dan sudah menyiapkannya. Aku diperintah untuk mengantarkan bancaan itu kepada tetanggaku. Likuran adalah tradisi di desaku yang tak henti dilakukan setiap malam 21 bulan Ramadan. Akhirnya, waktu berbuka puasa tiba. Makanan dan minuman sudah tersedia di meja. Saatnya menghilangkan rasa dahaga dan lapar.

Saat sedang makan ada bunyi, “Tok … tok … tok…, kula nuwun.”

Kubuka pintu dan ada seorang paruh baya yaitu Bu Sri.

“Wah … Bu Sri membawa cangkingan plastik,” suara dalam hatiku.

Enten nopo, Bu?” tanyaku.

“Bu e enek?” tanyanya.

Enten, Bu. Nembe dhahar,” jawabku.

Iki enek botok landing,” jelasnya.

“O, nggeh Bu, matur suwun. Pinarak riyen, Bu?” ajakku.

Kapan-kapan wae, ameh lungo iki,” jelasnya.

“O … nggeh, Bu,” ucapku.

Sebuah kenikmatan yang hakiki mendapat botok landing dari tetangga. Ketika isya telah tiba, warga di desaku berbondong-bondong menuju ke surau untuk melaksanakan salat isya dan salat sunah. Setelah itu, anak-anak dan remaja bertadarus.

Tujuh hari kemudian, sudah mulai cuti dan Lebaran sebentar lagi. Di pagi hari, pasar sudah mulai prepegan karena banyak orang yang berdatangan untuk memborong pakaian, aneka makanan ringan, janur,  rancangan ketupat, rempah-rempah, bunga mawar, dan tak lupa angpau untuk menyambut hari raya. Tak lain halnya denganku yang selalu sedia sirop dan astor sebagai hal wajib yang harus dibeli sebelum Lebaran. Bagiku, tak lengkap jika Lebaran tanpa astor dan sirop. Selain itu, opor entok adalah hal yang wajib dimasak oleh ibuku saat Lebaran tiba.

Aku pun membeli keperluan Lebaran di pasar. Hal yang mengasyikkan saat berbelanja di pasar ialah bernegosiasi dengan pedagang sehingga harga barang dapat terjangkau. Setelah itu, aku pulang dan membantu ibu mempersiapkan Lebaran.

Saat senja, anggota karang taruna mengadakan berbagi takjil untuk orang yang melintasi jalan raya di desaku. Takjilnya berupa kolak dan roti yang cukup untuk mengganjal perut di perjalanan.

Pada puncak acara, yaitu malam Idulfitri diadakan bancakan pudunan. Pudunan adalah sebuah tradisi kejawen yang diselenggarakan sebelum Idulfitri tiba. Malam Lebaran, anak-anak dan remaja melantunkan bersama bunyi takbir atau biasa disebut dengan takbiran.

Allaahu akbar, allahu akbar, allaahu akbar. Laa ilaaha illallahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil-hamd.

Penulis: Wahyuningsih

(Visited 25 times, 1 visits today)

Join The Discussion