Uncategorized

Maleman hingga Nyangoni, Tradisi Ramadan Sara Naluri Jawa yang Tetap Lestari di Kota Pacitan

Narasi Budaya – Bulan Ramadan dikenal sebagai bulan yang suci, bulan penuh kemenangan, bulan penuh ampunan, dan bulan penuh berkah oleh umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali oleh umat Islam di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, disusul oleh negara Pakistan, India, Bangladesh dan Nigeria. Berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) atau MABDA bertajuk The Muslim 500 edisi 2022, ada sekitar 231,06 juta penduduk Indonesia yang menganut agama Islam. Jumlah tersebut setara dengan 86,7% dari total penduduk Indonesia.

Bulan Ramadan adalah bulan ke-9 dalam kalender Hijriah. Secara umum, makna Ramadan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dilansir dari Liputan6.com, Ramadan berasal dari bahasa Arab yaitu ramada atau ar-ramad yang memiliki arti panas yang menghanguskan/kekeringan. Hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa Ramadan yang jatuh pada bulan kesembilan bertepatan dengan terjadinya musim panas yang sangat menyengat. Selain itu, Ramadan dapat diibaratkan sebagai matahari yang begitu panas dan mampu menghapus dosa-dosa umat muslim. Makna Ramadan juga sangat mulia dan istimewa karena dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalamnya.

Berbicara mengenai bulan Ramadan, tentu tidak lengkap rasanya jika tidak membahas mengenai keistimewaan tersebut. Siapa sangka bahwa kedatangan bulan Ramadan kerap dinanti-natikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Hal ini karena momen Ramadan selalu istimewa dan tidak dapat ditemukan di bulan-bulan lainnya. Bulan Ramadan menjadi ajang bagi umat Islam untuk mencetak pahala sebanyak mungkin, momen terbaik untuk meningkatkan iman dan takwa, menghapus dosa-dosa, dan mempererat tali silaturahmi antar umat manusia.

Keistimewaan bulan Ramadan antara lain meliputi, menjadi bulan diturunkannya Al-Qur’an (malam Nuzulul Qur’an, 17 Ramadan), bulan di mana Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya memenangkan perang badar, bulan dimana Mekkah berhasil di taklukkan, bulan dimana Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah, bulan dimana terdapat sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan (malam Lailatul Qadar) serta menjadi bulan dimana setiap amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT disertai dengan dibukakannya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka.

Pelaksanaan bulan Ramadan dapat ditentukan berdasarkan hilal dengan metode hisab dan rukyatul hilal. Dikutip dari situs LAPAN, hilal adalah fase bulan sabit setelah bulan baru. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahayanya sangat redup dibanding cahaya matahari dan ukurannya juga sangat tipis. Rukyatul hilal adalah kriteria penentu awal bulan kalender hijriyah dengan cara merukyah (mengamati) hilal secara langsung. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat optik seperti teleskop. Sementara itu, istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Saat ini metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi.

Selama bulan Ramadan, seluruh umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama 30 hari kemudian merayakan hari kemenangannya pada bulan Syawal. Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan oleh umat muslim dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga tetapi salah satu esensi dari berpuasa adalah untuk membentuk manusia sejati yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an, pada surat Al-Baqarah ayat 183 berikut ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Selain kewajiban melaksanakan ibadah puasa, ada juga ibadah lain yang bisa dilakukan, baik itu yang hukumnya wajib atau sunnah. Ibadah wajib selain puasa yaitu zakat fitrah yang bisa berupa uang atau barang. Zakat fitrah merupakan zakat diri yang wajib dilakukan pada bulan Ramadan atas diri setiap individu sesuai syarat-syarat yang sudah ditentukan. Adapun, ibadah sunnah yang umumnya dilaksanakan pada bulan Ramadan adalah shalat tarawih dan tadarus Al-Qur’an.

Pada tahun 2022 ini, bulan Ramadan jatuh tepat pada bulan April sedangkan Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah jatuh pada Senin, 2 Mei 2022. Penetapan 1 Syawal bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional dalam dimensi pendidikan. Meskipun masih dalam suasana pandemi Covid-19, Ramadan kali ini tidak lagi seketat tahun-tahun sebelumnya. Merujuk pada Surat Edaran Nomor 8 tahun 2022 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah pada Bulan Ramadan dan Idul Fitri Tahun 1442 H/2022 M, ada sejumlah aturan dalam melaksanakan ibadah Ramadan 2022 di masa pandemi. Salah satunya terkait dengan pelaksanaan ibadah di masjid atau mushala yang disesuaikan dengan status level PPKM di wilayah masing-masing dan dengan catatan tetap memperhatikan protokol kesehatan demi keselamatan bersama.

Bulan Ramadan tak hanya identik dengan ibadah puasa dan ibadah tauhid lainnya tetapi juga sarat dengan praktik budayanya. Di seluruh dunia, umat Islam menandai momen Ramadan ini dengan melakukan perayaan meriah sesuai dengan tradisi dan budayanya masing-masing yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tak terkecuali di Indonesia, setiap daerah mempunyai tradisi dan budayanya masing-masing untuk menyambut datangnya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.

Menurut Soekanto (1993:459) tradisi dapat diartikan sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dapat dipelihara. Tradisi merupakan warisan masa lalu yang masih dipercaya hingga sekarang. Tradisi dapat melahirkan kebudayaan dalam sebuah masyarakat. Salah satu daerah yang sarat akan tradisi Ramadan nya adalah Kabupaten Pacitan.

Pacitan terletak di bagian selatan barat daya, merupakan salah satu dari 38 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur. Daerah ini tentu tidak asing lagi karena menjadi tempat kelahiran Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Pada zaman Hindia Belanda, daerah ini disebut Kawedanan. Hingga saat ini, Kabupaten Pacitan terkenal akan keindahan wisatanya seperti, pantai, gunung, dan juga gua. Oleh karena itu, Pacitan kerap dijuluki Kota 1001 Gua dan Pacitan Paradise of Java.

Pacitan adalah salah satu daerah dengan kekayaan tradisi dan budaya yang beragam. Sebagai bagian dari keturunan masyarakat Jawa, masyarakat Pacitan yang menetap di kampung/desa juga mempunyai adat tersendiri untuk memeriahkan bulan Ramadan. Namun, perlu diketahui bahwa setiap daerah yang terdapat di Kabupaten Pacitan mempunyai subtradisinya masing-masing sehingga meskipun masih dalam satu naungan kabupaten, mereka mempunyai adatnya sendiri-sendiri sesuai dengan kepercayaan dan warisan turun-temurun dari para nenek moyang terdahulu.

Tradisi Maleman dan Nyangoni adalah bagian dari tasyakuran adat yang dilaksanakan pada bulan Ramadan. Tradisi ini kerap dilaksanakan oleh masyarakat Pacitan, khususnya yang berada di ujung barat kota, tepatnya di Desa Pelem, Kecamatan Pringkuku. Keduatradisi ini dilaksanakan secara berurutan, dimulai dari tradisi Maleman dan dilanjutkan tradisi Nyangoni. Umumnya, tradisi Maleman dilaksanakan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, tepatnya di malam-malam ganjil. Sementara itu, untuk tradisi Nyangoni hanya dilaksanakan pada malam Hari Raya Idul Fitri.

Sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan dapat dikatakan sebagai malam penuh ampunan dan kemuliaan, sebab pada malam-malam tersebut diyakini menjadi waktu terbaik turunnya Lailatul Qadar. Malam Lailatul Qadar disebut juga malam yang lebih baik dari seribu bulan, dimana setiap ibadah yang dilakukan pada malam tersebut akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Maka dari itu, setiap muslim akan berlomba-lomba untuk menyambut dan mendapatkan kemuliaan pada malam tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya tradisi Maleman di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Pacitan.

Tradisi Maleman ini dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan adat daerahnya masing-masing. Pada dasarnya, tradisi Maleman ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Pacitan tetapi juga dilaksanakan di daerah lain, misalnya di wilayah Malang. Tradisi ini dimeriahkan melalui pelaksanaan kenduri dan pembacaan kalimah-kalimah thayyibah di musholla ataupun masjid menjelang buka puasa atau usai melaksanakan sholat tarawih di sepuluh malam terakhir Ramadan. Kepercayaan lain menyatakan bahwa Maleman ialah tradisi membagikan nasi kotak pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan sebagai perwujudan dari sedekah kepada sanak saudara atau kepada tetangga yang berada di sekitar lingkungannya.

Daerah lain yang juga melaksanakan tradisi Maleman adalah masyarakat Jawa di daerahTondano, Minahasa, Sulawesi Utara, dimana pada malam tersebut masyarakat akan melakukan doa bersama. Selanjutnya, disajikan aneka makanan yang dibawa ke masjid untuk disantap bersama-sama usai doa bersama. Yang unik dari tradisi Maleman di daerahini adalah terdapat beberapa makanan khas yang turut disajikan seperti ayam panggang yang disajikan dalam ancak atau usungan terbuat dari kayu, terdapat sambal goreng, nasi beserta serundeng dan acar. Aneka makanan ini kemudian dimasukkan ke dalam sudi, yaitu daun pisang yang dibentuk sebagai wadah makanan. Secara umum, tradisi Maleman telah melegenda di daerah-daerah dengan mayoritas masyarakat Jawa, karena tradisi ini memang berasal dari Jawa.

Adapun, tradisi Maleman di Pacitan sebenarnya hampir sama dengan pelaksanaan Maleman di kedua daerah tersebut, dimana acara dilaksanakan setelah shalat tarawih di masjid/mushola, diawali doa bersama, dan diakhiri dengan makan bersama. Namun, ada sedikit perbedaan di dalamnya. Menjelang sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, biasanya masyarakat Pacitan dalam suatu kelompok melakukan musyawarah pembagian jatah memasak terlebih dahulu. Artinya, setiap keluarga mempunyai tanggalnya sendiri-sendiri untuk memasak dan membawa makanan yang nantinya akan dibagikan kepada jamaah masjid. Makanan tersebut disajikan dalam bentuk bungkusan, bisa dari kertas nasi atau daun pisang, dan biasanya disebut tempelangan. Isi bungkusan tersebut bervariasi, ada nasi, sayur, dan aneka lauk pauk.

Sementara itu, untuk waktu Maleman hanya dilaksanakan pada malam 21, 25, 27, dan 29. Khusus pada malam 27, Maleman akan disertai dengan khatam Al-Qur’an dan pembacan dzikir yang disebut juga dengan istilah telasan. Pada malam tersebut, makanan dan minuman yang disajikan pun lebih bervariasi. Selain tempelangan, disajikan pula nasi gurih, ayam ingkung (ayam utuh yang diikat sedemikian rupa dan digoreng), dan rawon. Pada malam ini, pembagian jatah memasak tidak diberlakukan, artinya semua jamaah masjid diwajibkan membawa tempelangan.

Ciri khas dari malam khatam Qur’an ini adalah terdapat tradisi memakai bedak dan kembang. Kedua piranti ini nantinya akan dicampur ke dalam air dan digunakan untuk membasuh muka atau bagian tubuh lain. Beberapa orang bahkan berani meminum sajian itu. Menurut masyarakat, tradisi tersebut adalah naluri leluhur Jawa yang sudah ada sejak zaman dahulu sebagai bagian sakral dalam tradisi Maleman dan khatam Al-Qur’an. Baru setelah itu, acara akan dilanjutkan dengan makan bersama.

Secara umum, tradisi Maleman memiliki arti dan filosofi yang erat antara budaya Jawa dengan penyebaran agam Islam. Maleman adalah tradisi untuk menyambut malam Lailatul Qadar dan sebagai bentuk pengajaran untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, meningkatkan perilaku bersedekah, dan menggiatkan ibadah-ibadah sunnah lainnya di akhir bulan Ramadan . Selain itu, tradisi Maleman atau biasa disebut selikuran ini diyakini sudah ada sejak awal penyebaran Islam oleh Walisongo di tanah Jawa. Tradisi ini sengaja diperkenalkan kepada masyarakat Jawa sebagai salah satu metode dakwah sesuai dengan adat istiadat orang Jawa agar bisa diterima dengan baik.

Dapat disimpulkan, bahwa tradisi Maleman ini adalah tradisi yang diproyeksikan khusus untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Maleman termasuk dari khazanah nusantara sebagai warisan para tokoh Walisongo. Maleman juga merupakan suatu bentuk akulturasi antara budaya Islam dan budaya masyarakat Jawa. Maleman ini adalah pengaplikasian dari hadist nabi yang menyatakan bahwa pada sepuluh hari terakhir Ramadan  diindikasikan sebagai malam turunnya Lailatul Qadar atau malam seribu bulan. 

Selanjutnya, tasyakuran adat terakhir dalam memeriahkan sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan  adalah Nyangoni. Sebagian besar orang tentu masih awam dengan tradisi ini karena memang tidak banyak yang melakukannya. Tradisi Nyangoni dilaksanakan pada malam Hari Raya Idul Fitri, setelah shalat isya dan sebelum takbir hari raya. Secara umum, kegiatan yang dilakukan hampir sama dengan Maleman, dimana para jamaah saling membawa tempelangan, kegiatan diawali doa bersama dan diakhiri dengan makan bersama. Hanya saja, dalam tradisi Nyangoni, sebagian besar masyarakat juga melakukan ritual berupa pembuatan ambeng dan tumpeng di rumah masing-masing untuk mendoakan para leluhurnya.

Filosofi tradisi Nyangoni sendiri adalah “membawakan sangu/bekal” untuk para leluhur dalam bentuk dzikir dan doa. Terdapat fakta menarik mengenai tradisi ini, dimana adat ini berkaitan erat dengan tradisi Megengan. Megengan adalah tradisi masyarakat Jawa untuk menyambut awal bulan Ramadan . Menurut naluri masyarakat Jawa, filosofi dari Megengan adalah mengundang para leluhur untuk pulang ke rumah dan ikut merayakan bulan suci Ramadan . Kemudian, pada akhir bulan Ramadan , dibuatlah ritual adat Nyangoni untuk mengantarkan para leluhur kembali ke alamnya dengan dibekali doa dari anak cucunya. Jadi, inti dari tradisi Nyangoni adalah sebagai lantaran untuk mendoakan para leluhur masyarakat Jawa.

(Visited 174 times, 1 visits today)

Join The Discussion