Anekdot

Culture Shock di Dunia Perkuliahan

Narasi Budaya – Dunia perkuliahan pasti sudah tidak asing lagi bagi orang yang memang memahami lingkungan tersebut. Namun, bagi orang awam akan berpikir dunia perkuliahan itu sama saja dengan sekolah pada umumnya. Opini tersebut memang tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar juga. Apalagi bagi anak SMA yang melanjutkan ke jenjang perkuliahan, perlu mengerti dulu bagaimana lingkungan perkuliahan yang sebenarnya. Transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi adalah tonggak penting dalam hidup seseorang. Ini menandai awal dari babak baru yang penuh dengan peluang untuk pertumbuhan pribadi, eksplorasi akademik, dan pengembangan persahabatan seumur hidup. Namun, transisi ini juga dapat menimbulkan fenomena yang disebut culture shock. Ada kalanya para remaja tersebut mengalami culture shock dengan lingkungan universitas yang mereka pilih. Apa sih sebenarnya makna dari culture shock? Apa yang menyebabkan seseorang mengalami culture shock terhadap lingkungan perkuliahan mereka? Artikel ini akan mengeksplorasi culture shock yang mungkin dialami mahasiswa saat memasuki dunia pendidikan tinggi.

Culture shock atau gegar budaya adalah perasaan disorientasi dan ketidaknyamanan yang dialami ketika individu menghadapi kebiasaan, nilai, dan norma sosial yang tidak dikenal. Seseorang yang mengalami culture shock, biasanya akan merasa cemas, bingung, frustasi. Sebab, dia kehilangan tanda, lambang, dan cara pergaulan sosial yang diketahuinya dari kultur asal. Ada beberapa gejala culture shock yang dapat di alami oleh individu yang berada di lingkungan baru diantaranya ialah kesepian, kesedihan, perubahan perilaku, kehilangan identitas, tidak percaya diri, dan lain sebagainya.

Culture shock sangat berkaitan dengan keadaan dimana ada kekhawatiran dan galau berlebih yang dialami orang-orang yang menempati wilayah baru dan asing. Ada empat tahapan yang akan dilalui oleh seseorang yang mengalami culture shock atau gegar budaya, antara lain:

  1. Tahapan pertama yaitu the honeymoon phase. Suatu tahapan di mana kamu akan merasa bahagia setibanya di negara yang baru, apalagi yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya.
  2. Tahap kedua, the crisis phase. Tahap merasakan perbedaan di tempat baru tidak pas, baik itu makanannya, logat yang susah dimengerti, kebiasaan jual beli dan merasa kesepian. Hal tersebut hanya membuat kamu merasa terasing dari lingkungan. Namun, kamu akan segera melaluinya jika mampu menyesuaikan diri dengan baik.
  3. Tahap ketiga, the adjustment phase. Dalam fase ini, kamu sudah mulai bisa berinteraksi dengan lingkungan di tempat baru. Kamu sudah mulai mengenal dan mulai terbiasa dengan tempat baru, tidak merasakan kegelisahan.
  4. Tahap keempat, bi-cultural phase. Kamu merasa nyaman hidup dengan dua kebudayaan sekaligus. Ini merupakan indikasi bagus, karena kamu telah berhasil melalui suatu seleksi alam kecil. Namun ada pula mahasiswa yang terlalu memuja kebudayaan asing sehingga ketika pulang ke daerahnya sendiri, ia malah merasa asing kembali. Untuk itu harus ada keseimbangan antara memahami kebudayaan tanpa meninggalkan identitas kita.

Salah satu penyebab utama gegar budaya di perguruan tinggi adalah beragamnya orang yang ditemui siswa. Kampus-kampus perguruan tinggi adalah wadah peleburan budaya, tempat mahasiswa dari berbagai latar belakang, etnis, dan kebangsaan berkumpul. Keanekaragaman ini, selain memperkaya, juga dapat membuat kewalahan bagi individu yang tumbuh dalam komunitas yang relatif homogen. Tiba-tiba, mahasiswa menemukan diri mereka dikelilingi oleh orang-orang dengan bahasa, aksen, gaya pakaian, dan perspektif yang berbeda. Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini dapat menjadi tantangan karena mahasiswa menavigasi melalui dinamika sosial yang asing dan berusaha menemukan tempat mereka dalam komunitas yang beragam ini.

Aspek lain dari kehidupan kampus yang berkontribusi terhadap gegar budaya adalah sistem belajar akademik. Perguruan tinggi menuntut tingkat kemandirian dan motivasi diri yang lebih tinggi dari mahasiswa dibandingkan dengan sekolah menengah. Kursusnya lebih menantang, dan harapan untuk berpikir kritis dan keterampilan analitis meningkat secara signifikan. Selain itu, metode pengajaran di perguruan tinggi seringkali berbeda dengan di sekolah menengah atas, dengan lebih menekankan pada pembelajaran mandiri, diskusi kelompok, dan proyek berbasis penelitian. Mahasiswa yang terbiasa dengan lingkungan belajar yang lebih terstruktur dan dipandu oelh guru mungkin merasa sulit beradaptasi dengan gaya pendidikan baru ini dan akan merasa tertinggal. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa akan kesulitan dalam mengembangkan dirinya.

Gaya hidup kampus itu sendiri juga dapat menjadi kejutan bagi banyak mahasiswa. Bagi sebagian orang, kuliah mungkin merupakan pertama kalinya mereka jauh dari rumah, hidup mandiri, dan bertanggung jawab untuk mengatur jadwal, keuangan, dan rutinitas sehari-hari mereka sendiri. Kebebasan yang menyertai kehidupan kampus bisa menggembirakan dan luar biasa. Siswa harus belajar untuk menyeimbangkan tanggung jawab akademik mereka dengan peluang sosial yang baru ditemukan, kegiatan ekstrakurikuler, dan kesejahteraan pribadi. Menyesuaikan diri dengan kemandirian yang baru ditemukan ini sambil mempertahankan keseimbangan kehidupan yang sehat dapat menjadi sumber culture shock yang signifikan bagi banyak mahasiswa.

Penyebab-penyebab tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan yang umum terjadi di dunia perkuliahan. Cara mengatasi perasaan gelisah dan tidak nyaman karena culture shock yakni dengan menyadari dan mengakui perasaan tidak nyaman yang telah dirasakan. Solusi selanjutnya yaitu membuka diri terhadap hal baru dan mulai bersosialisasi dengan lingkungan baru. Terakhir yaitu tidak membandingkan lingkungan baru dengan lingkungan asal, karena dengan terus menerus membandingkan kedua lingkungan tersebut akan membuat diri seseorang merasa semakin tidak nyaman dengan perbedaan lingkungan baru dan lingkungan asal mereka. Kesimpulannya, culture shock atau gegar budaya merupakan pengalaman umum bagi banyak mahasiswa yang memasuki dunia pendidikan tinggi. Lingkungan kampus yang beragam, tuntutan akademik, dan kemandirian yang baru ditemukan semuanya dapat berkontribusi pada perasaan disorientasi dan ketidaknyamanan seorang individu. Namun, dengan waktu dan dukungan, mahasiswa dapat menyesuaikan diri dan berkembang dalam lanskap budaya baru ini. Dengan merangkul keragaman dan mencari dukungan saat dibutuhkan, mahasiswa dapat mengubah gegar budaya menjadi pengalaman transformatif yang meningkatkan perjalanan kuliah mereka dan mempersiapkan mereka menghadapi dunia global selanjutnya.

Editor: Muhammad Aditya Wisnu Wardana

(Visited 13 times, 1 visits today)

Join The Discussion