Cerpen

Selendang Merah di Bumi Sakral

Rembulan mulai merangkak menuju anggara kasih. Detik jam berputar dengan lambannya di antara deru burung layang-layang di bumantara. Awan-awan terdiam. Bintang-bintang memendarkan cahaya bias. Lampu kuning emas remang-remang menyorot di berbagai penjuru begitu hangat menyapa. Sayup-sayup embusan angin yang menenangkan dan lembut membelai menemani pagelaran di pendopo istana. 

Iringan selaras gamelan semakin menambah syahdu senyap langkah kaki si penari. Alunan gending dan gong mengalir masuk ke dalam rongga telinga. Cengkok-cengkok yang mendayu merdu membuai seluruh indra. Gemulai tangan dengan selendang merah dan dodot ageng menyihir para abdi dalem yang menyaksikan. Wewangian khas kembang menyeruak hingga menyihir selasar keraton. 

Selendang merah itu menjadi saksi atas panjangnya langkah kaki dan keluwesan ayunan tubuh. Selendang itu bercerita mengenai rasa cintanya pada seni dan suguhan sakral yang sudah mendarah daging. Selendang pun ikut terhanyut dalam irama tari, dengan iringan bunyi gamelan yang terdengar lebih lirih dari vokal sinden.

Lingsir wengi sliramu tumeking sirna

Aja tangi nggonmu guling

Awas ja ngetara

Aku lagi bang winga-winga

Jin setan kang tak utusi

Dadya sebarang

Waja lelayu sebet

***   

Tepuk tangan meriah dari penonton menutup penampilan Gayatri hari itu. Senyum puas tercetak jelas di bibir manis Gayatri ketika melihat wajah antusias dari penonton yang menyaksikan tariannya. Gadis itu bahagia dan bangga pada dirinya sendiri. Akhirnya keseriusannya dalam dunia tari membawanya menjadi penari profesional di usia yang terbilang muda.

Tanpa sadar air mata membasahi pipinya. Entah kapan terakhir kali Gayatri menari. Kecelakaan satu tahun lalu membuat kakinya tak berdaya menopang tubuhnya. Ia dipaksa oleh keadaan untuk mengubur mimpinya sebagai penari tradisional. 

“Nduk,”

Gayatri segera mengusap air matanya setelah mendengar suara romo.

“Nggih, Romo. Ada apa?”

Romo menghela napas setelah melihat mata sembab anaknya itu. Gayatri selalu menangis menyaksikan tayangan penampilannya ketika pementasan tari. Gayatri pasti sangat ingin menari seperti dahulu lagi, namun saat ini kedua kakinya lumpuh. 

Satu tahun lalu, Gayatri menampilkan pagelaran tari Bedhaya Ketawang di keraton. Tarian itu ditampilkan hingga larut malam. Saat pulang tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya. Gayatri bergegas mencari tempat berteduh. Nahas, mobil tanpa lampu menabraknya dari arah berlawanan. 

***

Romo mendorong kursi roda Gayatri menuju keraton. Tak jauh, hanya beberapa meter dari gubuknya. 

“Pak, boleh ke pendopo Agung sebentar?” tanya romo pada penjaga.

“Tidak bisa, Pak. Sedang digunakan untuk latihan,”

“Sebentar saja, Pak. Anak saya dulu juga penari istana,”  

“Ya sudah, sebentar saja,” Akhirnya Gayatri dan romo mendapat izin dari penjaga.

Gayatri dengan saksama menyaksikan para penari berlatih. Rindu. Ia rindu akan suasana itu. Suasana saat ia mencoba menghayati setiap gerakan yang ia ciptakan. Wajah gadis itu tiba-tiba berubah sendu.

Di Pendopo Agung ini seperti ada energi kuat yang mengajak tubuhnya menari. Selendang merah melambai-lambai terus membujuknya walaupun terlihat misterius baginya. Lagi-lagi energi yang sangat kuat menariknya untuk melenggak. Suara yang begitu halus terus membisik di telinganya. Sesekali tampak wanita cantik beraroma melati. Wajahnya tidak jelas, namun yang pasti auranya sangat kuat.

Sisi tangannya tiba-tiba bergerak dengan lembut dan santunnya. Tubuhnya menjadi tegap dan matanya menjadi fokus pada ngithing tangannya. 

“Seperti inilah ungkapan cintaku pada Yang Mulia. Menarilah bersamaku.” Bisikan itu semakin terdengar dengan jelas dan raganya semakin tidak terkendali mengikuti alunan kenong.

Wanita cantik itu menarik tubuhnya untuk terus melangkah hingga menggerakkan kepala dan meliuk dengan lemah lembut. Dalam hitungan detik ia terbangun. Sepertinya Yang Mulia Ratu Kidul menyapa Gayatri yang sedang berkunjung. 

***

Nyi Gayatri, demikian saat ini ia biasa dipanggil oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya saat ini. Usianya kini 60 tahun. Wajah dan tubuhnya mungkin menua, tapi jiwa seninya barangkali tidak. Gayatri selalu membanggakan diri di depan cucu-cucunya, mengenai masa mudanya. Terlebih ketika ia pernah ditunjuk menjadi penari bedhaya ketawang. Tarian ini sendiri amat keramat dan ia merasa beruntung karena dapat kesempatan menarikannya.

“Nduk, jadilah seorang penari istana seperti Mbah dulu,” kata Gayatri pada cucunya.

“Kenapa Mbah bangga sekali, sih? Itu bahkan kejadian enam puluh tahun yang lalu,” cibir cucu Gayatri.

“Ini adalah suatu kebanggan bagi Mbah. Tak mudah melewati syarat-syarat yang ditetapkan untuk menarikan bedhaya ketawang,” jawab Gayatri.

“Sepertinya aku tidak akan lolos, karena aku kan tidak suka memakai gelungan dan jarik yang merepotkan,” celetuk cucu Gayatri.

“Aduh, anak zaman sekarang. Berbeda sepertiku dulu yang lemah lembut dan menjaga sopan santun seperti gadis berdarah biru sungguhan,” gumam Gayatri.

Kondisi Gayatri masih sama. Kakinya masih tak berfungsi. Kini yang berbeda adalah romo sudah tidak ada, namun kehadiran kelima anak dan dua cucunya dapat mengobati rasa dukanya itu. Kelima anak Gayatri tidak ada satupun yang berminat menjadi penari. Dahulu ia selalu memperlihatkan betapa menari adalah hal yang menyenangkan kepada anak-anaknya. Tak satupun dari mereka tertarik. Padahal Gayatri sangat ingin dari keluarganya ada yang menjadi penerusnya sebagai penari. 

*** 

Setiap kenaikan pangkat raja di keraton, Gayatri selalu teringat akan masa lalunya. Bagaimana ketekunannya dan kebahagiaannya saat berlatih. Kini angin malam menyusuri rambutnya menjadi perak dibakar usia, namun tetap pakaian favoritnya adalah jarik dengan kemben yang terpasang dengan kuatnya hingga membuat pinggangnya amat ramping. 

Hari itu, Gayatri menyaksikan tari bedhaya ketawang dari saluran televisi lokal bersama. Hanya tamu undangan yang dapat menyaksikan secara langsung. Tentu saja Gayatri tidak termasuk salah satu orang dari undangan itu. Penari itu begitu hanyut dalam tariannya. Tak satupun berani berbicara. Gayatri tak henti-hentinya terpukau dengan penampilan gadis-gadis penuh kelembutan itu. Suasana teduh, tenang, dan khidmat khas dari penyajian tarian ini tak pernah berhenti membuatnya bernostalgia. Cincin dan gelang logam keemasan tak pernah luput dari pandangan matanya. Bahkan ronce bunga melati yang menjuntai membuatnya jatuh cinta. 

***

Tahun ini akan ada kenaikan tahta raja di keraton. Gayatri bergegas menggerakkan roda menuju kamar dan menabur bedak di wajahnya. Selendang merah yang tergantung rapi di belakang pintu diambilnya. Ia mengulang kembali tarian yang telah ia pentaskan saat masih belia, walaupun dalam kondisi duduk di kursi rodanya. Ia mengingat dengan jelas, namun lemah lembut gerakannya berbeda ketika pertunjukan kala itu.

Gayatri menyadari kesempurnaan tarinya karena tuntunan dari Ratu Laut Selatan. Bulu kuduknya berdiri tiba-tiba setelah mengingatnya. Tapi itu adalah saat-saat berharga baginya. 

“Nak, coba lihat tarian Mbah!” kata Gayatri pada cucunya.

“Iya bagus, Mbah!”

“Sini, Mbah ajari,” ajakan Gayatri.

Bagi orang yang sangat menyukai seni tari pasti akan sangat senang jika mendapat kesempatan menari di keraton. Tapi memang tak semua orang berani menarikan bedhaya ketawang karena menganggap tarian ini sangat dianggap keramat. Gayatri sadar tari tradisional merupakan kesenian yang harus dilestarikan agar tidak dilupakan oleh generasi-generasi selanjutnya. 

Hidup Gayatri di kawasan Keraton Surakarta, membuatnya bertekad untuk terus mencintai tarian ini. Seperti rasa cinta penguasa laut selatan kepada Panembahan Senopati, demikian pula rasa cinta Gayatri pada tari sakral ini.

XX-X-MMXXI

Catatan:

Nama Bedhaya Ketawang berasal dari kata Bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Ketawang merujuk pada langit, keluhuran, dan kemuliaan. Tari ini adalah tarian pusaka di Keraton Surakarta. Tari Bedhaya Ketawang merupakan penggambaran hubungan asmara dari penguasa laut selatan, yakni Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram. Hubungan ini digambarkan dan diwujudkan dalam gerakan-gerakan tari. Karena sifatnya yang sakral, tari ini menuntut syarat untuk setiap penarinya. Syarat utamanya ialah sang penari harus gadis suci secara fisik dan batiniah.

Penulis: Zanida Zulfana Kusnasari

(Visited 66 times, 1 visits today)

Join The Discussion