Esai

Lampu: Kapitalis yang Membunuh Isi Dompetmu

Tidak direkomendasikan untuk kalangan yang mudah mengeluarkan seratus ribu hanya untuk membeli lampu.

Beberapa waktu yang lalu, lampu di rumah saya sempat mati. Tidak hanya satu, tetapi tiga lampu sekaligus yang mati di waktu yang bersamaan. Sudah seperti pemilu kemarin saja yang pelaksanaannya bersamaan. Otomatis, uang untuk menggantinya cukup lumayan, apalagi semuanya sudah lewat masa garansi.

Lampu Kapitalis

Kendati harga lampu LED saat ini sedikit terjangkau, tetap saja untuk membelinya harus menggunakan uang darurat, mengingat semua kematian datangnya selalu dadakan, termasuk lampu. Jadi, tidak ada anggaran khusus untuk beli lampu.

Toko lampu pun juga menawarkan berbagai merek dan harga yang bervariasi. Ada yang bergaransi, ada yang tak pasti. Intinya, disesuaikan dengan kantong si pembeli. Saya habis seratus ribu lebih untuk membeli tiga lampu itu. Sesampainya di rumah, saya berfikir sejenak, dan mulai menghitung. Ada berapa lampu yang terpasang di rumah ini? Apa jadinya jika semuanya mati di waktu yang bersamaan? Berapa rupiah yang akan saya keluarkan jika harus membeli semua lampu tersebut?

Sewaktu di toko, penjual mengatakan kalau ketahanan lampu tergantung dari penggunaan sang pemilik. Berarti, keawetannya ditentukan oleh pemiliknya. Garansi hanya menjadi jaminan tanggung jawab dari produsen, bukan jaminan keawetan.

Berbicara tentang keawetan lampu, ternyata ada lampu yang telah menyala lebih dari 121 tahun! Melebihi usia Ratu Elizabeth II, dan tentu saja umur lampu saya! Centennial Light Bulb, yang berada di Kantor Pemadam kebakaran No. 6, Livermore di California. Lampu tersebut telah menyala sejak tahun 1901 dan terus dinyalakan selama 24 jam tanpa henti. Lampu ini pernah mati sekali, itu pun karena kantor pemadam kebakaran dipindahkan. Namun, pemadaman hanya berlangsung 22 menit saja. Lebih singkat dari pemindahan ibukota.

Keawetan Cetennial Light Bulb tentu sangat luar biasa, mengingat lampu tersebut dibuat di tahun 1901, ketika teknologi belum maju seperti sekarang. Gelar penemuan terbesar abad 20 pun layak disematkan pada teknologi yang terdapat di Cetennial Light Bulb. Namun, apakah lampu ini benar-benar sakti? Oh, tentu saja tidak, Ferguso!

Secara logis, semakin majunya teknologi akan semakin banyak menyelesaikan permasalahan. Dan kejadian pada Cetennial Light Bulb berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Tentu kita menyadari bahwa perusahaan lampu terus berinovasi demi menghasilkan lampu terbaik. Mulai dari era lampu bohlam, lampu jari hingga LED. Namun, semuanya tak bisa bertahan lama seperti Cetennial Light Bulb. Hanya bertahan beberapa tahun saja, bahkan diantaranya hanya bertahan seumur pernikahan artis, beberapa bulan saja.

Pertanyaannya ialah, apakah perusahaan-perusahaan lampu tidak bisa menciptakan Cetennial Light Bulb baru? Versi bohlam, jari, maupun LED yang memiliki keawetan yang lama? Tentu saja mereka bisa, sangat bisa. Yang jadi masalah ialah, jasa reparasi lampu menjadi sepi pelanggan dong karena tidak ada lampu yang diperbaiki. Penjual barang elektronik akan kekurangan omset karena tidak menjual lampu, sehingga menyebabkan arus ekonomi terganggu. Padahal, uang kalian adalah nyawa ekonomi. Kalian harus tetap konsumtif agar perekonomian tetap lancar.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pada tanggal 15 Januari 1925, para produsen lampu berkumpul di Jenewa untuk membahasnya. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa produsen lampu, termasuk produsen-produsen yang namanya menempel di lampu rumah kalian. Kelompok ini dikenal dengan nama Kartel Phoebus.

Kartel Phoebus sepakat untuk mengurangi umur lampu bohlam dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan dari penjualan-penjualan berulang dengan konsep monopoli. Mereka mengurangi standar umur lampu kala itu, dari 2000 jam (standar edisson) menjadi 1000 jam saja. Mereka menciptakan keusangan terencana (planned obsolescene).

Meskipun kartel ini hanya bertahan 15 tahun saja, namun praktinya masih terus ada dan mengakar dalam setiap sektor industri. Praktik ini nampak pada kasus catridge printer yang harus diganti per 5000 lembar dan spare part kendaraan yang harus rutin diganti. Hal ini tentu akan membuat konsumen harus menganggarkan dana khusus untuk perawatannya. Padahal penghasilan tetap gitu-gitu saja.

Memang terlihat kejam, namun praktik planned obsolescene ini sebetulnya sama-sama menguntungkan. Apa yang akan terjadi jika tak ada Kartel Phoebus yang mengurangi umur lampu? Apa yang akan terjadi jika produsen memasarkan lampu yang tak pernah mati? Perusahaan lampu tentu akan berhenti memproduksi, karena konsumen memiliki lampu yang abadi. Imbasnya banyak karyawan akan menjadi pengangguran. Banyak pengangguran berarti beban negara bertambah.

Lebih dari itu, mungkin saat ini dunia masih gelap karena tidak ada produsen lampu.

Dengan adanya kartel tersebut, semua pihak menjadi senang. Produsen senang karena produknya ramai pembeli, karyawan senang karena mereka terus digaji, dan konsumen senang karena rumah mereka tak gelap gulita. Tak hanya itu, reparasi lampu pun akan ikut senang karena masih ada lampu rusak yang bisa diperbaiki.

Sejatinya, praktik kartel memang telah dilarang. Namun, pada ujungnya praktik ini akan terus ada dan menuntut kita untuk terus konsumtif. Uang yang kita pegang adalah nyawa bagi mereka. Sayangilah nyawa anda! Karena yang berharga patut untuk diperjuangkan. Biarkan para kapitalis yang menyesuaikan kebutuhan nyawa kita, sehingga praktik-praktik kartel tak terfokus pada keuntungan, namun berfokus pada kebutuhan manusia.

(Visited 29 times, 1 visits today)

Join The Discussion