Esai

Menjemput Mimpi di Negeri Lain

Kebanyakan orang tidak akan pernah berani melewatkan kesempatan untuk belajar di luar negeri dengan beasiswa atau pendanaan sendiri. Sangat menyenangkan untuk terlibat dalam pengalaman baru, bertemu dengan orang baru dari budaya yang berbeda: makanan, bahasa, dan banyak lagi.

Hazel, seorang mahasiswa S-2 di UNS asal Tanzania melakukan perjalanan sejauh 8,366 mil atau lebih melintasi dunia untuk menghabiskan dua setengah tahun hidupnya di negara asing yang jauh dari tempat dia tinggal dan mengenal seluruh hidupnya. Meninggalkan keluarga, teman, dan pekerjaannya adalah hal yang menakutkan. Tetapi, itu adalah keputusan yang paling penting sepanjang hidupnya selama ini.

Meskipun memiliki gelar Manajemen Sumber Daya Manusia, Hazel bekerja sebagai resepsionis di rumah sakit swasta. Dengan pengalaman 4 tahun bekerja di rumah sakit sebagai resepsionis, Hazel ingin maju dan mengalihkan kariernya ke Manajemen Kesehatan Masyarakat sebagai gelar kedua. Pindah dari satu industri ke industri lain akan menjadi pengubah permainan karena mengarah pada pertumbuhan pribadi; dia ingin menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara pekerjaan dan kehidupan.

Namun demikian, ia juga ingin memenuhi kariernya dengan cara yang berarti dengan melayani masyarakat di sekitarnya. Pengalaman kerja 4 tahun di sebuah rumah sakit membuatnya tidak mementingkan diri sendiri, terutama di awal pandemi Covid 19 di penghujung tahun 2019 di mana ia ditempatkan di antara para tenaga kesehatan garda terdepan dalam membantu pasien suspek ataupun positif Covid 19. Bagian dari pekerjaannya adalah menjelaskan kepada pasien tentang kebiasaan baru dan bagaimana mereka dapat menjaga diri mereka sendiri dalam menghadapi pandemi  Covid 19.

Menurut Hazel, sesampainya di Indonesia pada tahun 2022, dia harus menyesuaikan diri dengan zona baru. Indonesia 4 jam lebih cepat dari negaranya. Oleh karena itu, mencari waktu yang tepat untuk menelepon keluarga di rumah dan menyeimbangkan kehidupan sehari-harinya adalah salah satu tantangannya.

Dia harus belajar bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi dan bahasa pengantar. Pengalaman terhadap bahasa baru yang mengarah ke komunikasi dan hambatan bahasa adalah faktor yang membuatnya merasa terisolasi, lelah untuk terlibat dalam percakapan, dan akibatnya kesepian dan rindu rumah.

Dia bekerja keras untuk berkomunikasi dengan penduduk asli Indonesia, menghabiskan sebagian besar waktunya di Pusat Bahasa, dibantu oleh gurunya di mana dia akan berinteraksi dengan banyak karyawan, siswa, dan tetangga di sekitar tempat tinggalnya untuk memperbaiki kosakata dan artikulasinya.

Transisi budaya pada awalnya sangat sulit dan menantang; Orang Indonesia makan makanan yang sangat pedas, mereka sangat ingin tahu dan akan mengajukan banyak pertanyaan meskipun sebenarnya mereka sangat ramah, mudah bergaul dan menghormati setiap manusia secara setara. Sebagian besar aktivitas sehari-hari mereka dilakukan secara online, baik itu transportasi, mengakses makanan, memesan kebutuhan pokok, jadwal bus, dan sebagainya. Menjadi penting bagi Hazel untuk membiasakan diri dengan budaya Indonesia agar dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan mudah; dia belajar dan beradaptasi tentang bagaimana menikmati makanan Indonesia yang lezat, budaya, dan tata cara hidup sehari-hari.

Novici Wulandari salah satu dosen di salah satu universitas di Jogjakarta mengatakan, “Tinggal di Amerika selama 5 bulan memperluas pemikiran saya, saya mengalami budaya, makanan, bahasa dan cuaca yang berbeda dari yang ada di Indonesia. Saya tinggal dengan orang-orang dari budaya yang berbeda dan saya menikmati dan menghormati perbedaan individu”.

Hazel berubah menjadi lebih baik. Dia menjadi bertanggung jawab karena dia harus menganggarkan tunjangan hidup yang diberikan kepadanya dengan membayar sewa asrama, tagihan telepon, transportasi, makan, dan segala sesuatu lainnya. Dia belajar untuk tidak menghabiskan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak dia butuhkan. Universitasnya menyediakan pekerjaan yang memungkinkan dia untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Hal tersebut membantunya untuk mengatur diri sendiri dan menjalani kehidupan yang lebih nyaman.

Peter Mwangi yang berasal dari Kenya dan saat ini mengajar di Northwestern University di Amerika Serikat. Dia pernah mengalami perbedaan mata uang antara shilling Kenya dan dolar Amerika Serikat ketika melakukan pembelian yang berbeda. Dia cenderung membandingkan mata uang setiap kali dia berada di supermarket, pasar, dan tempat lain. Ia dinasihati oleh salah satu dosennya tentang pentingnya memahami perbedaan mata uang antara negara asal dan di negara asing tempat seseorang sehingga dapat membuat keputusan moneter yang lebih baik.

Oleh karena itu, belajar di luar negeri adalah kesempatan besar bagi siswa internasional di seluruh dunia. Saya pribadi memahami ada tantangan dalam mempelajari bahasa dan budaya baru, tetapi cara terbaik adalah berinteraksi dengan penduduk asli melalui partisipasi yang efektif dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara tepat seperti pusat bahasa di universitas. Perpisahan dengan keluarga, teman, hubungan romantis, dan sebagainya adalah bagian dari tantangan ketika belajar di luar negeri. Tetapi, untuk memanen Anda harus menabur dan Anda tidak akan pernah tahu kekuatan Anda kecuali Anda melawan ketakutan Anda.

Penulis: Bertha Sylvester Maingu Mahasiswa KNB

Universitas Sebelas Maret dari Tanzania

Editor: Rosantika Utami

(Visited 141 times, 1 visits today)

Join The Discussion