Esai

Beauty Privilege : “Orang Cakep Mah Bebas”

“Kalau kamu cantik itu artinya setengah masalah hidup teratasi.”

Ungkapan itu sering dijumpai dimana standar kecantikan menjadi tolak ukur perlakuan seseorang. Itulah yang dinamakan beauty privilege.

Mungkin di antara kalian sudah pernah mendengar atau membaca mengenai beauty privilege. Beauty privilege memang sudah tidak asing disekitar kita. Beauty privilege menggambarkan keberuntungan hidup seseorang yang terkesan lebih mudah karena terlahir memiliki paras yang rupawan. Keberuntungan atas beauty privilege yang dimiliki seseorang membuat keberadaannya semakin dihargai.  

Sementara dalam bukunya yang berjudul The Beauty Bias, Deborah L. Rhode berusaha mematahkan pernyataan tersebut dengan memaparkan beragam faktor yang membuktikan bahwa menjadi tidak cantik sesungguhnya lebih menyakitkan. Hidup di tengah masyarakat yang mengedepankan penampilan fisik dan hanya mereka yang memiliki paras rupawan yang diuntungkan. Inilah prinsip beauty bias atau yang biasa juga disebut beauty privilege.

Mayoritas first impression tercipta melalui penampilan fisik. Standar kecantikan di Indonesia berupa kulit putih bersih, rambut lurus, dan langsing menjadi primadona bagi setiap orang. Beauty is in the eye of the beholder atau yang disebut kecantikan itu subjektif. Namun, pada kenyataannya menunjukan bahwa adanya kesepahaman mengenai standar kecantikan di Indonesia.

Tentu saja ketika membedakan antara good looking dengan less looking. Stigma “orang cakep mah bebas” membuat sebagian orang merasa tidak percaya diri. Sedangkan orang yang merasa dirinya menarik (attractive) akan merasa dirinya dimaklumi setiap berbuat sesuatu, bahkan dinormalisasikan sekalipun berbuat kesalahan. 

Dalam kolom komentar media sosial artis, selebgram, youtuber bahkan tiktokers yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia sering dijumpai komentar netizen yang menyebutkan “orang cakep mah bebas”. Padahal mungkin saja postingan atau konten yang diunggah dinilai kurang pantas, dari situlah tercipta beauty privilege. Contoh dekatnya saja terdapat dilingkungan tongkrongan kalian, pasti ada salah satu yang menjadi primadona di mana setiap perkataannya, perbuatannya bahkan jokes nya selalu menarik bagi orang lain, khususnya lawan jenis.

Beauty privilege bahkan dibawa hingga ke dunia perkuliahan. Saat first meet dengan teman-teman baru tentu akan membawa first impression. Mengenali seseorang dapat dilakukan melalui eye contact, jika merasa menarik akan diperhatikan hingga dicari media sosialnya. Beauty privilege sangat nyata di pertemanan, orang yang memiliki paras menawan lebih sering diajak berkenalan terlebih dahulu, tidak perlu pusing-pusing mencari teman. Bukankah hal itu termasuk setengah masalah hidupnya selesai?

Tidak berhenti pada itu saja, beauty privilege dibawa hingga urusan percintaan. Sudah sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa orang berparas menarik akan lebih mudah mendapatkan pasangan. Hal ini dikarena dalam beauty privilege seseorang telah memiliki bias terhadap lawan jenis. Kembali pada standar kecantikan, memiliki beauty privilege tentu memiliki kesempurnaan standar kecantikan yang diimpikan lawan jenis. Bagaimana tidak seorang lawan jenis tidak tertarik pada orang yang memiliki beauty privilege? Mayoritas dari kalian pasti akan menjawab tentu saja tertarik, bukan?

Sebenarnya tidak ada kesalahan dalam menggunakan beauty privilege karena itu memang hadiah yang ia miliki. Sekalipun sama-sama menjadi kaum good looking tapi tentu ada perbedaan mengenai sikap seseorang. Ada orang yang good looking namun tidak memanfaatkan privilege yang ia miliki. Namun, ada juga orang yang good looking dengan sengaja memanfaatkan privilege nya untuk dinormalisasikan oleh orang disekitarnya yang dianggap “orang cakep mah bebas”.

Keberuntungan yang diperoleh dari beauty privilege semakin membuat dirinya dihargai ditengah-tengah masyarakat yang memiliki stereotype dalam standar kecantikan. Hal ini membuat kesimpulan bahwa beauty privilege itu adalah real adanya dan ungkapan “orang cakep mah bebas” terbukti timbul karena beauty privilege yang dimiliki seseorang. Mirisnya orang lain sering acuh bahkan justru judge terhadap orang yang less looking padahal di sisi lain bisa saja ia memiliki lebih banyak prestasi dibandingkan kaum good looking yang hanya unggul dalam beauty privilege.

Lalu, bagaimana kita tetap percaya diri melawan stigma beauty privilege?

  1. Katakan “You’re enough” pada diri sendiri

Stereotype yang muncul mengenai standar kecantikan terkadang membuat orang merasa insecure pada dirinya sendiri. Maka kata “You’re enough” pada diri sendiri sebagai bentuk terima kasih pada diri kalian yang selalu menemani. Merasa cukup atas diri sendiri bukan berarti tidak mengenbangkan potensi diri tetapi justru memberikan rasa damai dengan diri sendiri.

  1. Lawan stigma beauty privilege dengan prestasi

Nilai plus tidak hanya muncul dari paras saja, tapi keahlian otak juga perlu diasah. Jangan menjadi “tong kosong berbunyi nyari” seperti halnya percuma jika hanya menjadi good looking saja tapi tidak berprestasi, Fisik dan prestasi haruslah seimbang satu sama lainnya. Prestasi justru menjadi suatu kebanggaan bagi diri sendiri.

  1. Jangan menormalisasikan “orang cakep mah bebas”

Tunjukan bahwa keberadaan setiap orang perlu untuk diakui. Hargai setiap orang untuk saling bersosialisasi dan saling mengoreksi satu sama lain. Jadilah orang yang adil tanpa menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak ada lagi ungkapan bahwa “orang cakep mah bebas” tetapi semuanya adil tanpa memandang hal lainnya.

  1. Bersikap “I’m confident”

Percaya diri menjadi kunci untuk membuat kita lebih mudah bersosialisasi. Dengan confident dapat membuat semakin stand out. Kita tidak perlu mempermasalahkan tentang stigma dalam beauty privilege. Kunci dari melawan stigma beauty privilege adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Nah, perlu diakui bahwa memang benar nyata adanya beauty privilege. Namun perlu kita ketahui bahwa bukan hanya penampilan fisik saja yang diperlukan dalam hidup. Prestasi juga perlu dikembangkan untuk menunjang hidup. Tapi, juga perlu diingat kita  tidak  perlu untuk menormalisasikan ungkapan  “orang cakep mah bebas”.

Editor: Lina Khoirun Nisa

(Visited 35 times, 1 visits today)

Join The Discussion