Esai

Serba Serbi Anak Broken Home: dari Mental Yupi sampai Jadi Si Paling Mandiri

Istilah broken home tentu sudah tidak asing lagi bagi kaum milenial. Istilah tersebut pun sering digunakan oleh pengguna media social. Lebih lanjut, istilah broken home juga menjadi topik yang banyak di bahas untuk artikel-artikel di internet, atau menjadi tema perbincangan kala ngopi bareng teman. Lalu sebenarnya apa sih arti dari istilah “broken home”?

Menurut Kamus Lengkap Psikologi yang ditulis oleh J.P. Chaplin, broken home dapat didefinisikan sebagai keluarga atau rumah tangga yang mengalami keretakan, berantakan, atau tidak utuh. Keluarga tersebut kehilangan salah seorang dari kedua orang tua yang bisa disebabkan karena meninggal, perceraian, meninggalkan keluarga dan lain sebagainya. Singkatnya broken home dapat diartikan sebagai keluarga atau rumah tangga yang kurang atau bahkan tidak harmonis yang disebabkan oleh alasan-alasan tertentu.

Bagi anak-anak, broken home tentunya sudah kenyang dengan opini-opini yang kerap dilontarkan oleh orang sekitar. Opini tersebut seringkali dapat berupa hal positif seperti pujian atau menyuarakan kekaguman. Namun, tidak jarang juga terlontar opini negatif yang kerap kali membuat anak-anak broken home menghela napas berat misalnya; “keluarganya aja berantakan, pasti anaknya juga nggak bener.”  

Memang benar, setiap orang tentu memiliki opininya masing-masing terkait dengan “anak broken home”. Tetapi baiknya kelau opini kamu bsa ambil baiknya dan yang buruk hempas ke samudera hindia saja. Terlepas dari itu semua, untuk anak broken home sendiri bagaimana sih pengaruhnya ke kondisi mental atau perilaku sehari-hari?

Sebagai seseorang yang mengalami broken home, tentu membawa berbagai dampak bagi kehidupan saya. Kondisi tersebut menuntut saya untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bersyukur. Mandiri dalam hal ini bukan berarti saya mampu hidup sendiri tanpa orang tua dan mencari nafkah sendiri ya. Mandiri yang saya maksud lebih kepada tidak terlalu bergantung pada kehadiran kedua orang tua.

Jika ditanya apakah broken home memengaruhi kondisi mental saya? Dengan mantap saya akan menjawab ya, broken home jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi mental saya. Mulanya kondisi tersebut membuat saya patah semangat dan ingin memberontak. Memberontak di sini lebih kepada menjadi pribadi yang baru, tetapi sangat jauh berbeda dengan pribadi saya yang sebelumnya.

Selain itu, kondisi broken home juga berpengaruh terhadap cara bersosialisasi saya dengan orang-orang sekitar. Saya menjadi pribadi yang cenderung pendiam, murung dan enggan bertemu dengan orang-orang baru. Satu hal yang saya syukuri sampai saat ini, dalam kondisi seperti itu Tuhan mempertemukan saya dengan teman-teman yang baik dan suportif. Berada dalam lingkungan yang positif membuat saya belajar untuk menyalurkan emosi ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Bertemu dan bercerita dengan teman-teman yang memiliki latar belakang hebat membuat saya terpacu untuk membuktikan diri dan berani memiliki mimpi yang besar.

Dalam kondisi tersebut, saya hanya seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun saya tidak dibesarkan dalam keluarga yang utuh, tetapi saya tetap memiliki potensi yang sama untuk berkembang seperti teman-teman lainnya.

Ajaibnya menjadi anak broken home tidak memadamkan semangat saya untuk belajar, justru sebaliknya saya menjadi lebih bersemangat dalam menuntut ilmu. Saya menjadi lebih giat dan semakin berani untuk bermimpi. Juga membuktikan diri pada orang-orang yang telah memandang sebelah mata, saya juga ingin membuat orang tua saya bangga. Meskipun dalam kondisi yang bisa dibilang menyedihkan, saya tidak patah semangat dan terpuruk begitu saja. Saya tetap mampu berjuang dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Seperti manusia pada umumnya, saya juga tidak selalu kuat. Saya tidak selalu dapat menyikapi setiap kondisi dengan pikiran terbuka dan positif. Ada kalanya saya menangis, meratapi nasib, bahkan menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada saya. Sesekali juga terbesit dalam benak saya keinginan egois agar orang tua saya rujuk kembali. Saya bukan seseorang yang berkompeten untuk menilai apakah hal tersebut wajar atau tidak, tetapi secara pribadi saya memaklumi diri saya sendiri. Bukankah setiap anak selalu ingin mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya?

Sudah seharusnya keluarga menjadi tempat yang aman bagi anggotanya untuk berbagi cerita atau sekedar berkeluh kesah tentang hal-hal kecil yang menyebalkan. Meskipun tidak setiap orang memiliki keluarga yang siap untuk menjadi tempat pulang. Karena menurut saya keluarga itu tidak terbatas hanya pada ibu, ayah, adik, kakek, nenek, dan sebagainya. Bagi saya keluarga adalah mereka yang saling mendukung dan memberi semangat satu sama lain. Tidak peduli memiliki ikatan darah atau tidak, selama mereka selalu ada ketika saya butuh maka mereka adalah keluarga saya.

Untuk teman-teman broken home di luar sana, jangan pernah patah semangat. Mampu bertahan sampai saat ini sudah membuktikan betapa hebatnya kalian. Teruslah menjadi manusia hebat, sesekali bersedih dan mengeluh tidak masalah, tapi jangan lupa bangkit dan berjuang lagi ya. Ingat kita punya kesempatan yang sama untuk meraih mimpi seperti teman-teman lainnya. Mungkin kita tidak dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, tetapi di masa depan kita dapat mewujudkan keluarga yang harmonis untuk anak kita.

“Apa itu definisi keluarga? Aku tidak tahu. Aku lebih memilih menjalaninya. Mengusir rasa takut kehilangan. Mengusir rasa takut pulang, takut menyingkap semua masa lalu, atau mengusir rasa takut jika esok lusa kekecewaan akan datang. Mengusir semuanya, lantas memeluknya dengan erat, hari ini, inilah keluargaku. Aku menjalaninya, tidak akan pernah pusing apa definisinya.” – Ali, Komet Minor.

(Visited 32 times, 1 visits today)

Join The Discussion