Cerpen

Dicari Tak Tampak, Enggak Dicari Tampak

Siang bolong dengan terik matahari yang dapat membuat pigmen hitam di kulitku. Sampai mengingatkanku dengan perkataan bapak. 

“Itu kamunya yang udah hitam, Kasian matahari jadi kambing hitam menghitamkan kulit.”

Bapak memang suka meledek

“Glutak … glutak … glutak ….”

“Asalamualaikum.” Aku mengucapkan salam dengan langkah mengendap-endap, pradugaku ada yang tak beres di dalam rumah.

Sampai-sampai tak ada yang menjawab salam atau memang tidak mendengar? Ah, ya sudahlah. Perlahan aku memasuki rumah, ternyata memang benar ada bapak di ujung meja makan. Raut wajahnya kebingungan seperti mencari benda tak kasat mata.

“Cari apa Pak?” tanyaku yang ikut kebingungan.

“Lihat barang-barang Bapak di sini?” Bapak yang berbalik tanya kepadaku.

“Barang apa Pak?” Aku yang kembali bertanya memastikan.

Malah jadi tanya-menanya bukan tanya jawab.

“Lah, malah balik nanya, gak ketemu-ketemu barangnya, jadi tanya-tanyaan,” sahut bapak.

“La Bapak ndak jelas nyari barang apa, mana bisa ketemu,” jelasku 

“Ibu di mana Pak, kok ndak tanya Ibu?” lanjutku bertanya.

“Ibu tuh di kamar lagi tidur siang. Tadi juga sudah tanya ibu tapi sama aja kek kamu gak tau,” jawab bapak.

“Ya udah Pak. Aku beres-beres dulu,” kataku  sambil meletakkan tas dan sepatu. 

Bapak yang masih mencari ke sana kemari. Aku pun ikut pusing melihatnya karena bapak tak bilang barang yang dicari. Mungkin, memang mbapak lupa meletakannya, maklum faktor usia.

“Sartina, kamu bener gak lihat barang Bapak di sini? Biasanya ’kan kamu yang ngrusuin barang Bapak.” Bapak malah menuduhku tanpa bukti yang valid.

“Lah, beberapa hari ini aku ndak pakai barang Bapak,” jawabku santai sambil mendengarkan lagu klasik kesukaanku dan mengerjakan tugas di kamar.

“Selain kamu, ndak ada lagi yang pakai atau mengotak-atik barang Bapak. Masak Pak RT yang bawa barang Bapak, ‘kan ya ndak mungkin.” Bapak seakan-akan yakin kalau aku yang membawa barang bapak.

Biasalah, sebagai anak tunggal, siapa lagi yang akan disalahkan kalau bukan anak satu-satunya. Ibarat kata, yang lupa siapa, yang disalahkan siapa.

“Ya siapa tau memang Pak RT yang bawa barang Bapak, ‘kan kemarin Pak RT datang ke sini, Pak,” balasku yang gantian menuduh Pak RT.

Bapak kesal tidak menemukan barang yang dicarinya dan keluar rumah. Mungkin mencari udara segar. Udara yang tak terlihat saja langsung dapat ditemui. Barang ini melebihi udara ilmunya hingga bisa menghilang tanpa memberi kabar.

Rasa penasaranku akan benda itu terus memuncak. Pikirku berupa benda yang sangat penting karena bapak takut kehilangan. Apa dokumen penting? Peralatan motor? Atau perkabelan? Entahlah …. Benda misterius bagiku.

***

Malam hari ….

Saat makan malam, aku mengamati kukuku yang tumbuh kisaran 0,25 cm. Ya memang tidak kuhitung langsung dengan penggaris besi ataupun penggaris plastik. Namun, aku kira-kira saja panjangnya. Masih aman sih kalau segitu, tidak melebihi jari sendiri. Kan aneh aja kalau panjangnya kuku melebihi panjangnya jari. Ya tidak ada filosofi atau mitosnya sih mengenai panjangnya kuku. Pasti nanti ada masalahnya. Coba aja kalau makan muluk, apa nasinya enggak nempel-nempel di kuku.

Setelah makan malam, aku berniat ingin memotong kuku. 

“Tong … tong … tong ….” 

Suara kentungan berbunyi nyaring dan terdengar jelas di telingaku.

“Bu, kentungan arisan ya?” tanyaku yang masih kapan di depan televisi.

“Iya, ini kan tanggal 14,” jawab ibu.

“Ibu pergi arisan dulu ya. Asalamualaikum.” Ibu meninggalkan rumah untuk arisan ibu-ibu. Biasa, setiap bulan selalu diadakan arisan pada tanggal 14 malam.

Wa’alaikumussalam,” jawabku.

Aku segera menyelesaikan makan malamku. Ya, lelet memang karena kusambi nonton televisi dan menunggu sinetron kesayanganku. Tugas yang sudah kuselesaikan tadi siang sehingga malam ini tinggal santai-santai.

Setelah makan malam dan sebelum malam semakin larut, aku harus memotong kukuku terlebih dahulu karena sudah risih dengan kuku panjang. Aku pun melihat ke gantungan gunting kuku di bagian samping lemari. Ternyata, aku hanya melihat kunci motor dan gantungan kunci tas yang tercantel di sana. Tidak ada pertanda gunting kuku sama sekali. Di manakah gerangan gunting kuku tersebut? Menjadi tanda tanya besar bagiku. Seingatku, terakhir kali aku pakai kucantelkan di lemari samping. Tetapi, ini tak ada batang hidungnya.

Aku cari di dekat televisi tidak ada, di sekitar kasur pun tidak ada.

“Di mana wahai engkau gunting kuku kesayangan?” batinku menggerutu.

Aku sampai lelah, letih, dan lesu mencari di setiap pojok ruangan. Tidak kunjung ditemukan juga. Aku menyerah, putus asa rasanya hingga aku memutuskan untuk menonton sinetron saja. Aku menunggu ibu pulang, siapa tahu ibu yang menyimpan benda kecil mungil itu. Pada umumnya ‘kan ibu-ibu paling tau letak barang-barang.

Dua jam kemudian ….

“Asalamualaikum ….” Ibu mengucapkan salam dan membuka pintu. Memang sengaja tidak dikunci agar ibu langsung bisa masuk tanpa mengetuk. Sementara itu, aku yang terlarut dalam cerita sinetron, seakan tak sadar kalau ibu sudah pulang.

“Nonton televisi kok sampai segitunya, sampai ndak sadar kalau Ibu sudah pulang,” seru ibu.

Wa’alaikumussalam,” jawabku.

“Iya, Bu tadi agak samar-samar seperti ada yang masuk, eh ternyata Ibu. Ini sinetronnya seru banget Bu,” lanjut aku.

“Tugasnya udah dikerjain belum? Nanti kalau waktunya numpuk aja paniknya minta ampun, katanya mau dikerjain eh malah scroll handphone,” ledek ibu karena kebiasaanku yang seperti itu.

“Tugas aman Bu. Tadi siang udah aku kerjakan, lagi pula besok ‘kan hari libur Bu,” sahutku dengan mata yang masih memperhatikan televisi.

“Ya sudah kalau aman.” Ibu lega dan meninggalkan ruang menonton televisi.

“Oh iya, aku lupa tanya dengan ibu,” batinku.

Ibu kembali ke ruang dan menonton televisi bersamaku. Aku langsung bertanya kepada ibu dan berharap ada titik terang.

“Bu, Ibu lihat …. Aku tadi mau tanya apa ya?” Seketika aku lupa mau bertanya apa kepada ibu.

“Lihat apa?” sahut ibu dengan bertanya balik.

“Lupa, Bu mau tanya apa,” jawabku sambil mengingat-ingat, mondar-mandir.

“Ah … ini Bu, Ibu lihat gunting kuku ndak?” tanyaku dengan serius.

“Lah, dari tadi mondar-mandir cuma mau tanya benda itu?” Ibu heran dnegan pertanyaanku.

“La iya, Bu. Memang kenapa Bu?” tanyaku lagi.

“Sama aja seperti Bapakmu.”

“Sama gimana Bu?” Aku bertanya dengan rau kebingungan.

“Sama-sama nyari gunting kuku,” jawab ibu heran.

“Oalah, ternyata kemarin Bapak nyari barang tuh nyari gunting kuku juga,” sahutku terkejut dan terheran-heran dengan kelakuan gunting kuku yang suka menghilang tanpa kepastian.

“Terus sekarang dah ketemu Bu?” lanjutku penasaran.

“Ya belum, orang bapak motong kuku pake gunting tadi sore,” jawab ibu dengan santai.

“Ihh … di mana ya Bu gunting kukunya?” Aku bertanya-tanya dengan cemas.

“Terakhir kamu taruh mana?”

“Ya di samping lemari, Bu. Di mana lagi …,” jawabku merasa sebal karena tak menemukan gunting kuku.

“La siapa yang bawa, di samping lemari ndak ada,” seru ibu. Aku yang frustrasi tidak melanjutkan pencarian gunting kuku. Langsung pergi ke kamar merebahkan badan dan terlelap.

Perlahan kubuka mataku dan … ada gunting kuku di meja belajar samping tempat tidurku. Antara sadar dan tidak sadar, aku melihat benda itu tergeletak di sana. Mataku terbuka dengan jelas dan memang benar yang kulihat bahwa itu gunting kuku. Namun ….

Ternyata itu gunting kuku yang rusak.

Ah, geram kali aku.

Matahari sudah menampakkan diri di ufuk timur. Aku pun sudah harum mewangi. Saatnya menginclongkan lantai. Wajah tidak glowing, tetapi lantai harus glowing. Debu yang berhamburan di area ruang tamu dan ruang menonton televisi. Tuman memang. 

Perlahan kugeser kasur tipis itu.

“Aw …,” jeritku. Tanganku ada yang menusuk secara tiba-tiba. Entah dari mana asalnya. Aku berprasangka ada sesuatu di balik seprai kumal ini. Langsung aku tarik seprai itu dengan hati-hati, siapa tau kelabang atau kecoak. Kalau lalat atau nyamuk nggak mungkin sih. 

Cilub ba,”  kataku sambil mengintip ada apa di balik seprai.

Terbukti … benda siap pakai bersembunyi di balik seprai. 

“Ya ampun, kamu ternyata main petak umpet di sini,” celetukku tersenyum sebal. Sini keluar, pintar kali main petak umpet sampai 3 orang mencari dan tidak berhasil. Sepertinya kita memang harus belajar petak umpet dengan gunting kuku agar menjadi pemain yang andal.                                         

Penulis: Wahyuningsih                                 

(Visited 17 times, 1 visits today)

Join The Discussion